Menjaga lingkungan tetap hijau dan bersih adalah tanggung jawab kita bersama.
Banyak hal dapat dilakukan. Nggak usah mikir yang muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja.
Mulai dari rumah kita, mulai dari diri kita....

Selasa, 27 Juli 2010

Pembakaran Sampah dengan Incinerator di South Tuas Singapura

Hampir 80 persen sampah di Singapura adalah dibakar dengan incinerator kapasitas jumbo. Kabarnya DKI Jakarta akan menerapkannya untuk wilayah layanan Jakarta bagian utara. Namun sampai saat ini masih terkendala pada biaya dan kelembagaannya. Beginilah kira-kira proses pembakarannya, pengolahan emisi gasnya, pengubahan panas menjadi energi listrik, recovery scrap metal dan pembuangan abunya.

Sebelum masuk ke plant insinerator, truk pengangkut sampah ditimbang di jembatan timbang terlebih dahulu. Selanjutnya sampah tidak langsung dibakar tapi dibawa ke reception hall (aula penerima truk sampah) untuk ditampung terlebih dahulu di dalam bunker (bak penampung), dengan maksud untuk menjamin kontinuitas operasi insinerator dan homogenisasi material sampah.
Khusus untuk bulky waste (sampah berukuran besar), seperti cabang pohon dan furnitur bekas, sebelum dimasukkan ke bak penampung dicacah terlebih dahulu menjadi serpihan-serpihan kecil dengan menggunakan shredder (mesin pencacah). Kemudian sampah-sampah yang telah masuk ke dalam bak penampung dicampur dengan menggunakan crane (katrol penjumput) raksasa agar material sampah menjadi homogen sehingga nilai kalornya seragam ketika dibakar di dalam insinerator. Sampah yang telah dihomogenkan di bunker kemudian dipindahkan ke furnace (ruang pembakaran) dengan katrol melalui hopper (corong masuk).

Tekanan udara di dalam bak penampung dijaga dibawah tekanan atmosfir untuk mencegah bau ke luar area yaitu dengan jalan disedot dengan blower (penghembus udara). Udara tersebut kemudian digunakan untuk membantu pembakaran sampah di dalam furnace (ruang bakar).

Pada tahap paling awal proses insinerasi, bahan bakar minyak digunakan untuk memulai pembakaran sampah dipicu dengan burner (alat pemicu api). Sekali sampah dibakar dan temperatur ruang bakar mulai stabil, proses pembakaran akan bekerja dengan sendirinya, dan pemberian bahan bakar minyak dapat dihentikan. Selanjutnya pembakaran sampah berlangsung kontinyu tanpa perlu alat pemicu api dan minyak lagi. Di dalam ruang bakar, sampah terbakar seluruhnya karena melewati penggerak grate sistem stoker yang berfungsi sebagai penggerak material sampah sekaligus mencampur dan mengaduknya. Temperatur normal di ruang bakar sekitar 1000 derajat celsius.

Udara yang diinjeksikan ke ruang bakar untuk membantu pembakaran primer diambil dari bak penampung dan dipanaskan dengan sistem air heat-exchanger, yang panasnya diambil dari pembakaran di ruang bakar, sehingga temperaturnya naik menjadi 200 derajat celsius, sebelum diintroduksikan melalui bagian bawah permukaan grate ruang bakar.

Dari hasil pembakaran sampah di ruang bakar dihasilkan flue gas (gas buang) dengan temperatur tinggi yang kemudian dialirkan melalui tabung-tabung boiler (pendidih air) yang dapat menyerap panas sehingga dihasilkan uap air super panas. Uap panas tersebut kemudian digunakan untuk menggerakan turbin generator pembangkit listrik. Insineratror Tuas Selatan memiliki kapasitas produksi listrik sebesar dua kali 66 Mega Watt. Setelah dipakai sendiri untuk kebutuhan operasional plant insinerator, sekitar 75% listrik yang dihasilkan dijual melalui grid via stop-up transformer ke PLN Singapura.

Setelah itu gas buang didinginkan dengan economizer tube-bundles sehingga suhunya turun di bawah 280 derajat celsius. Gas tersebut kemudian didinginkan lagi menjadi 180 derajat celsius dengan heat excehanger yang digunakan untuk memanaskan udara sebelum diinjeksikan ke ruang bakar. Setelah dingin, gas buang tersebut dialirkan melalui serangkaian filter gas yaitu reaktor dry lime, electrostatic presipitator, dan filter bag. Filter bag didesain untuk menghilangkan 85 persen HCl dan 99,5 persen debu dalam gas buang. Gas buang yang telah tersaring tersebut akhirnya dibuang ke atmosfir melalui cerobong asap setinggi 150 meter. Menurut Menteri Singapura yang membidangi informasi, komunikasi, dan budaya yang juga merangkap sebagai Menteri Kesehatan, Baladji Sadasivan, gas buang yang berasal dari insinerator di Singapura (setelah melalui serangkaian treatment seperti di atas) kadarnya sudah tidak berbahaya lagi bagi lingkungan (Kompas, 10/01/2005).

Sementara itu produk pembakaran selain gas buang, yakni residu abu ditransportasikan ke penampung abu oleh vibrating conveyor (konveyor getar). Sedangkan logam-logam yang mengandung besi dipisahkan dengan pemisah magnet dan dijual sebagai scrap. Sisa abu dikirim ke pelabuhan sampah di Tuas untuk dibawa ke TPA Semakau.

Kamis, 22 Juli 2010

Pilot Project Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Tangerang Selatan

Meningkatnya jumlah penduduk dan semakin beragamnya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat kota telah menyebabkan bertambahnya volume sampah. Namun sayangnya, peningkatan jumlah sampah umumnya belum diimbangi dengan peningkatan pelayanan kebersihan. Berbagai masalah persampahan muncul di tengah-tengah masyarakat seperti menumpuk sampah di sekitar pasar dan pemukiman yang mengakibatkan bau busuk yang mengganggu pernafasan, berkembang biaknya lalat pembawa bibit penyakit, lingkungan menjadi kumuh dan kotor, got-got menjadi tersumbat sehingga mengakibatkan banjir.

Tak terkecuali, Kabupaten Tangerang Selatan, sebagai wilayah pemekaran yang baru pun tak luput dari permasalahan sampah. Tumpukan sampah terlihat dimana-mana karena pengangkutan sampah yang tersendat-sendat akibat minimnya armada pengangkut sampah yang dimiliki. Demikian juga, tempat pembuangan akhir sampah pun secara definitif belum dimiliki. Ketika untuk sementara waktu ikut membuang sampah di TPA yang dimiliki oleh ‘saudara tua’ muncul preseden buruk berupa penolakan dan akhirnya gontok-gontokan. Sampai sekarang permasalahan tersebut masih menggelayuti Pemkab Tangsel.

Untuk membantu mengatasinya saat ini sedang diadakan pilot project pengeloaan sampah berbasis masyarakat di kawasan permukiman Puspiptek Serpong oleh Pusat Teknologi Lingkungan bekerja sama dengan Kementerian Riset dan Teknologi.

Fokus utama kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada saat ini adalah untuk membuka wawasan tentang pentingnya mengelola sampah dan meningkatkan keterampilan bagaimana mengelola sampah dengan teknik-teknik yang mudah dan sederhana.

Field Trip atau kunjungan lapangan telah dilakukan ke Kebun KARINDA dan Kampung Agrowisata Rawajati adalah dalam rangka pembukaan wawasan dan memberikan pencerahan serta kesadaran bahwa kita pun, masyarakat yang tinggal dipemukiman, dapat turut serta membangun lingkungan yang lebih baik lagi. Lingkungan yang bersih, indah, rapi, sejuk dan ijo royo-royo.

Kemudian pelatihan daur ulang sampah bertujuan untuk membekali keterampilan praktis bagi para peserta tentang bagaimana cara memilah sampah, mengolah sampah menjadi kompos, mendaur ulang kertas, dan mendaur ulang plastik menjadi kerajinan tangan.

Dengan terolahnya sampah di tingkat rumah tangga diharapkan jumlah sampah yang dibuang ke TPA akan jauh berkurang sehingga umur TPA menjadi semakin panjang. Demikian pula transportasi sampah menjadi semakin efisien.

Kader Lingkungan Permukiman PUSPIPTEK Tangerang Selatan

Pada tanggal 21 Juli yang lalu telah lahir kader lingkungan di RW 06 permukiman PUSPIPTEK Serpong sebanyak 48 orang. Kader-kader lingkungan tersebut berasal dari 9 RT, masing-masing RT terdapat 3 orang kader yang berasal dari ibu-ibu rumah tangga dan Majelis Taklim Ibu-ibu, dan 2 orang bapak-bapak. Selain itu terdapat pula kader lingkungan yang berasal dari karang taruna. Pembentukan kader lingkungan tersebut diresmikan dengan penyematan PIN kader lingkungan oleh Asdep Puspiptek Bapak Ir. Wisnu S, M.Eng pada saat pelatihan daur ulang sampah di Serpong.

Kader lingkungan berkewajiban mengolah sampahnya di rumahnya sendiri dan menularkan ilmu yang telah didapatnya serta mengajak tetangga di sekitarnya untuk menjaga lingkungan dan memilah dan mengolah sampah.

Para kader lingkungan yang telah terbentuk kemudian bermusyawarah untuk membentuk kepengurusan. Akhirnya terbentuklah susunan pengurus kader sadar lingkungan permukiman Puspiptek Serpong yang diketuai oleh Ibu Krisnadi dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara. Setiap blok pemukiman juga menempatkan satu orang perwakilannya.

Dalam waktu dekat mereka berencana untuk melakukan evaluasi praktik komposting bersama-sama dengan para praktisi dari Pusat Teknologi Lingkungan (BPPT) dan membentuk waste bank di setiap RT.

Antusiasme para kader lingkungan dalam mengikuti kegiatan pelatihan dan kunjungan lapangan merupakan modal awal menjadi kader lingkungan sejati yang akan menyebarkan amal sholeh ke lingkungan sekitarnya yang pahalanya dapat menjadi bekal kita di akhirat kelak. Mewarisi lingkungan yang baik bagi anak cucu juga merupakan amanah Allah yang wajib kita lakukan.

Mereka percaya bahwa lompatan besar dimulai dari langkah kecil, setapak-demi setapak. Semoga sepenggal kegiatan kecil keseharian dalam mengolah sampah di rumah dapat menjadi gerakan membahana bersama masyarakat lainnya di Tangerang Selatan khususnya, sehingga sampah bukan menjadi masalah lagi. Akan tetapi sampah berubah menjadi berkah.

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Bersifat Multiyears dan Perlu Pendampingan

Mengatasi permasalahan sampah tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus secara integral atau menyeluruh. Terdapat lima aspek penting di dalam pengelolaan sampah yaitu aspek legal, aspek pembiayaan, aspek kelembagaan, aspek peran serta masyarakat, dan aspek teknis operasional/teknologi.

Di antara aspek lainnya, aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah kota memegang peranan penting karena dampaknya sangat besar bagi keseluruhan program pengelolaan sampah. Dalam strategi jangka panjang peran aktif masyarakat menjadi tumpuan bagi suksesnya pengelolaan sampah kota.

Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah perlu dibangkitkan dan ditingkatkan. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan yang bersih bukanlah hal yang mudah karena terkait dengan perubahan persepsi, perubahan perilaku, perubahan kebiasaan, dan perubahan budaya. Selama ini masyarakat memandang sampah sebagai barang yang tak berguna, kotor dan menjijikan. Persepsi tersebut perlu dirubah bahwa sampah adalah sumber daya yang dapat dimanfaatkan melalui kegiatan 3 R (reduce, reuse, dan recycle).

Perubahan pandangan tersebut memerlukan waktu dan pendampingan program yang kontinyu karena pada dasarnya yang diubah adalah persepsi dan perilaku masayarakat. Tidak seperti kasus air bersih misalnya. Suatu daerah yang kesulitan mendapatkan air bersih karena air di sekitarnya payau, tinggal dikasih alat penyaring air, maka saat itu juga, ketika kran dinyalakan masalah air bersih terselesaikan. Pendampingan pengelolaan sampah berbasis masyarakat bersifat multiyears, minimal 2 – 3 tahun baru terlihat hasilnya. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama seluruh stakeholders, LSM, Pemerintah, Media massa, dan seluruh masyarakat

Jumat, 16 Juli 2010

Strategi Singapura Takhlukan Sampah

Semua orang mahfum bahwa mengelola sampah perkotaan dengan volume ribuan meter kubik perhari dan karakteristiknya yang beragam bukanlah hal yang mudah. Terbukti sampai saat ini, berbagai masalah yang diakibatkan oleh sampah susul-menyusul tiada henti, seperti kasus tempat pembuangan akhir sampah (TPA) yang terbakar, pencemaran bau dan lindi, kasus TPST Bojong, dan bencana sampah longsor di TPA Leuwigajah, Bandung.

Salah satu dari penyebab munculnya masalah-masalah tersebut di berbagai kota metropolitan atau kota-kota besar di Indonesia adalah karena strategi pengolahan dan pembuangan sampah yang aman terhadap lingkungan belum dilaksanakan secara terintegrasi, dimana saat ini sampah umumnya hanya dikumpulkan di tempat penampungan sampah sementara, kemudian diangkut dengan truk, dan dibuang di TPA ala kadarnya.

Berbicara tentang strategi pengelolaan sampah kota metropolitan, sebagai pembanding, ada baiknya kita intip strategi negara jiran terdekat kita yakni Singapura dalam menakhlukkan sampah hingga negeri itu berhasil mendudukkan dirinya sebagai salah satu kota yang hijau dan terbersih di dunia cocok dengan semboyannya: Singapore, clean and green!

Menurut data dari Kementrian Lingkungan Hidup Singapura, Singapura, negeri dengan wilayah daratan seluas DKI Jakarta atau sekitar 650 km2 dan berpenduduk lebih dari 4,6 juta jiwa, menghasilkan sampah sekitar 7600 ton perharinya. Untuk menangani sampah sebanyak itu, yang notabene 1000 ton lebih banyak dari produksi sampah Jakarta, Pemerintah Singapura memilih strategi pengelolaan sampah berupa penerapan teknologi insinerator yang dapat mengubah sampah menjadi energi listrik (waste to energy) dan pembangunan TPA sanitary landfill di lepas pantai.

Pemilihan teknologi insinerasi didasarkan karena teknologi tersebut mampu mereduksi volume sampah harian hingga 90 persen sehingga masa pakai TPA menjadi semakin panjang. Umur TPA menjadi sangat penting di sana karena sebagai kota metropolitan dan industri, Singapura tidak lagi menyisakan daratannya untuk usaha non-produktif seperti TPA sehingga pembangunan TPA-nyapun mau tidak mau memanfaatkan wilayah lepas pantai dengan persyaratan teknis yang sangat ketat. Selain karena keterbatasan lahan, pemilihan teknologi tersebut, yang cukup mahal, rumit, dan hightech, juga didasarkan pada sudah matangnya kesiapan finansial, perangkat hukum, institusi pengelola, dan sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah.

Dengan strategi tersebut, sistem pengelolaan sampah di Singapura jelas tidak sekedar menerapkan prinsip kumpul, angkut, dan buang seperti yang banyak dipraktekkan di kota-kota besar di Indonesia, tetapi prinsipnya adalah sampah dikumpulkan, kemudian dipadatkan (di transfer station) untuk kemudian diangkut dan dibakar (di insinerator), dan terakhir dibuang (di sanitary landfill di lepas pantai).

Sebelum bulan April 1999, tempat pembuangan sampah Singapura sebenarnya terletak di TPA Lorong Halus yang letaknya di kawasan pantai berawa bagian timur laut Singapura. Namun karena TPA tersebut sudah penuh dan tidak tersisa lagi daratan Singapura untuk TPA, maka dibuatlah TPA sanitary landfill lepas pantai di selatan Singapura yang sekarang dikenal sebagai TPA Semakau.

TPA Singapura Berada di Tengah Laut

Untuk menciptakan area pembuangan sampah, sebuah lingkaran tanggul sepanjang 7 km dibangun untuk menutup bagian timur Pulau Semakau dan Pulau Sekang. Tanggul tersebut dibuat dari jutaan meter kubik batuan dan pasir yang, tentu saja berasal dari kepulauan Riau, melingkupi areal seluas 350 hektar (tiga kali lebih luas dari TPA Bantargebang). Areal tersebut seperti lakyaknya sebuah laguna raksasa, di mana sebagian areanya sudah diisi dengan timbunan sampah, dan sebagian besar lainnya masih berisi air laut.

Untuk mencegah infiltrasi air leachate (lindi) ke perairan laut di sekitarnya, pada bagian dasar tanggul dan dasar TPA dilapisi dengan membran impermeable (kedap air) dan lapisan clay (lempung), sehingga pencemaran lingkungan dapat dicegah. Selanjutnya, lindi yang berasal dari TPA tersebut dipompa dan ditampung di unit pengolahan limbah cair yang terletak di dalam area TPA itu sendiri.

TPA Semakau pada dasarnya merupakan duplikasi dari TPA lepas pantai yang berada di Tokyo, Jepang, yaitu TPA lepas pantai Outer Central Breakwater dan New Sea Surface yang berkapasitas 120 juta meter kubik sampah. TPA Semakau sendiri memiliki kapasitas tampung sebesar 63 juta meter kubik sampah sehingga diperkirakan dapat menampung sampah Singapura sampai 40 tahun mendatang. Bila penuh nanti, TPA Semakau merupakan pulau baru seluas ratusan hektar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti taman wisata, daerah industri, dsb.

Oleh karena letaknya di lepas pantai, di TPA Semakau juga dibangun pelabuhan sampah yang berfungsi sebagai tempat pembongkaran sampah dari barge (kapal tongkang) pengangkut sampah yang berlayar ke TPA tersebut. Limbah padat dari kapal tongkang dibongkar dengan ekskavator dan dimasukan ke dalam truk berkapasitas 35 ton untuk dibawa ke area pembuangan. Di area tersebut sampah dibongkar, kemudian diratakan, dan dipadatkan dengan buldozer. Untuk membangun TPA Semakau dan fasilitas pendukungnya, Pemerintah Singapura menghabiskan biaya sebesar 610 juta dolar Singapura. Biaya tersebut lebih mahal dari yang dibutuhkan untuk membangun TPA sanitary landfill di daratan.

TPA Semakau tidak seperti TPA di Indonesia, material sampahnya tidak menimbulkan emisi gas yang berbau dan relatif stabil karena sampah yang masuk berupa material inert seperti abu sampah yang berasal dari insinerator dan bongkaran bangunan.

Singapura Memanfaatkan Sampah untuk Energi

Hampir 90 persen sampah yang diproduksi oleh penduduk negeri berlambang Merlion itu dibakar menjadi abu di insinerator dan energi panas yang dihasilkannya digunakan sebagai sumber pembangkit listrik. Saat ini, Singapura memiliki empat insinerator berkapasitas besar dan modern. Insinerator pertama dioperasikan sejak tahun 1979 di Ulu Pandan dangan kapasitas 1.100 ton perhari, insinerator kedua di Tuas dan dioperasikan sejak tahun 1986 dengan kapasitas 1.700 ton perhari, lantas insinerator ketiga berada di Senoko dan beroperasi sejak tahun 1992 dengan kapasitas 2.400 ton perhari. Sedangkan insinerator yang paling gress, lengkap dan modern, dioperasikan sejak tahun 2000, adalah Insinerator Tuas Selatan dengan kapasitas paling besar di dunia yakni 3000 ton perhari.

Menurut Vincent Teo, Manajer Umum Pelayanan Teknis Insinerator Tuas Selatan, ketika bertemu dengan penulis di plant Insinerator Tuas Selatan tiga tahun yang lalu, dikatakan bahwa keempat insinerator tersebut pada tahun 2001 telah berhasil membakar 2,55 juta ton sampah atau sekitar 91 persen dari total sampah yang dihasilkan oleh Singapura. Dari pembakaran sampah tersebut dihasilkan listrik hingga 1.158 juta kWh atau sekitar 2 sampai 3 persen dari total listrik yang dihasilkan oleh Singapura. Suatu jumlah energi listrik dari bahan bakar sampah yang cukup fantastik, memang.

Sedangkan scrap metal (barang-barang logam yang tidak terbakar) yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 24 ribu ton yang kemudian dijual kepada industri daur ulang. Dari hasil penjualan listrik, barang-barang logam, dan disposal fee (tarif pembuangan limbah padat) serta subsidi pemerintah, beban biaya operasional dan pemeliharaan keempat insinerator tersebut dapat tercukupi.

Pelabuhan Sampah di Singapura

Oleh karena TPA Semakau terletak di lepas pantai, maka diperlukan fasilitas perantara pembuangan abu dari plant insinerator ke TPA yaitu pelabuhan sampah dan alat transportasi pelayarannya. Adalah Tuas Marine Transfer Station (TMTS) merupakan pelabuhan transit sampah yang dilengkapi dengan tempat untuk menambatkan kapal tongkang pengangkut sampah dan fasilitas bongkar-muat sampah. Biaya diperlukan untuk konstruksi TMTS sebesar 80,9 juta dolar Singapura, sedangkan untuk pembelian tongkang dan kapal penariknya memakan dana sebanyak 37 juta dolar Singapura.

TMTS, yang terletak bersebelahan dengan Insinerator Tuas Selatan menghadap laut, memiliki area seluas 7 hektar, dengan di dalamnya terdapat area tempat menambatkan kapal tongkang. Dua kapal tongkang dengan kapasitas 3500 meter kubik sampah dapat ditambatkan dalam waktu yang bersamaan. Salah satu sisi tempat penambatan kapal tongkang dibuat lebih tinggi dari permukaan kapal dan menjorok ke tengah sehingga sampah yang dibongkar dari dump truck pengangkut abu atau puing bangunan dapat langsung jatuh ke bagian tengah kapal tongkang. Area tempat pembongkaran sampah dapat memuat 20 truk secara berjejer sekaligus. Sedangkan di sisi lainnya terdapat ekskavator yang digunakan untuk meratakan muatan tongkang.

Tongkang yang telah penuh dengan muatan sampah kemudian ditarik dengan tuboat (kapal penarik) menuju TPA Semakau yang berjarak sekitar 25 km dari TMTS. Pelayaran dilakukan pada malam hari untuk menghindari lalu lintas kapal yang padat.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas bahwa jenis-jenis teknologi yang digunakan dalam pengelolaan sampah Singapura, seperti teknologi insinerator, pelabuhan sampah, dan TPA sanitary landfill lepas pantai, adalah hightech dan padat modal. Namun berbekal kemampuan finansial, sumber daya manusia, dan political will yang kuat, saat ini Singapura berhasil mengoperasikan dan memelihara fasilitas-fasilitas tersebut sebaik-baiknya sehingga secara tuntas masalah sampah di sana tertangani.

Maka, jadilah Singapura sebagai salah satu kota metropolitan yang paling bersih di dunia. Seandainya kita berandai-andai, mampukah Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia mengikuti jejak Singapura menggunakan insinerator modern di mana biaya kontruksi, operasi dan pemeliharaannya sangat mahal? Melihat uraian di atas, sesungguhnya tanpa didukung oleh ketersediaan dana, organisasi yang profesional, dan tenaga ahli dengan komitmen yang tinggi, serta kemauan politik dari pemerintah rasanya mustahil untuk mengaplikasikan teknologi tersebut secara berkesinambungan karena insinerator di sini tidak ubahnya merupakan sistem pembangkit listrik (tenaga sampah) dengan sistem pengendalian yang rumit dan ketat.

Senin, 12 Juli 2010

Komposting Tandan Kosong Kelapa Sawit

Pada dekade terakhir beberapa peneliti di bidang pengelolaan limbah padat telah mengadakan penelitian tentang komposting Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), diantaranya adalah Dr. Didi Hajar Gunadi, M.Sc, Ir Sri Wahyono, M.Sc dkk. ( dari BPPT), dan Dr. Schuchardt (dari Jerman). Peneliti pertama mencoba mengkomposkan TKKS dengan sistem Beckary dengan menggunakan aktivator, sedangkan peneliti lainnya menggunakan sistem windrow dengan atau tanpa aktivator.

Riset Komposting Tandan Kosong Didi Hajar Gunadi

Gunadi menggunakan aktivator OrgaDec yang mengandung microorganisma terutama fungi jenis Trichoderma sp. Peralatan dan bahan yang diperlukan untuk pembuatan kompos terdiri atas mesin pencacah, wheel loader, TKKS, dan OrgaDec. Sebelum difermentasikan TKKS dicacah dengan mesin pencacah. Cacahan TKKS setiap tonnya dicampur dengan 5 kg OrgaDec dengan menggunakan wheel loader.

Proses komposting dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, sekitar 1,8 ton cacahan TKKS yang telah bercampur dengan OrgaDec dengan memakai wheel loader dimasukan ke dalam alat pencetak sambil diratakan dan diinjak kemudian disiram dengan air sebanyak 50 liter guna memperoleh kelembaban yang cukup. Tahap kedua, penahan cetakan dinaikan satu tingkat setinggi 30 cm. Tahapan selanjutnya merupakan pengulangan tahap sebelumnya sehingga tumpukan mencapai ketinggian 150 cm. Setelah itu papan penahan cetakan ditarik sehingga yang tinggal hanya tumpukan ukuran 600 X 200 X 150 cm. Tumpukan tersebut kemudian ditutup dengan plastik. Parameter yang diamati selama proses komposting adalah temperatur, penyusutan, warna, bau dan kelembaban. Analisis produk fermentasi setelah 14 hari pemrosesan menunjukan bahwa rasio C/N mencapai 16, kadar N yaitu 1,9%, P2O5 0,8%, K2O 5,5%, MgO 0,9%, CaO 1,4% dan Mn 133 ppm (--, 1999).

Riset Komposting Tandan Kosong Frank Schuchardt dkk

Pembuatan kompos skala pilot dengan sistem windrow yang dilaksanakan oleh Schuchardt bersama Pusat Penelitian Kelapa Sawit dilakukan di Pabrik Kelapa Sawit Mini di Aek Pancur - Medan.TKKS sebelum dikomposkan dicacah lebih dahulu dengan menggunakan mesin pencacah yang dirancang khusus oleh PPKS. Ukuran cacahan berkisar 40 – 60 mm.

Menurut Schuchardt, proses pembuatan komposnya adalah sebagai berikut. TKKS yang telah dicacah disusun menjadi dua buah tumpukan (heap) dengan ukuran masing-masing panjang 10 m, lebar 2,5 m dan tinggi 1,1 m (8 ton TKS pertumpukan) dan diaduk dengan mesin pembalik kompos Komposmat 1.27 D Backhus sebanyak 2 – 5 kali seminggu. Untuk mempertahankan aktivitas mikroorganisma, selama 8 – 9 minggu pertama waktu komposting ditambahkan air sejumlah 3,2 (optimum) hingga 5,4 (maksimum) m3 perton TKKS. Pada tumpukan TKKS juga tidak memerlukan atap, meskipun curah hujan mencapai lebih dari 2000 mm pertahun. Massa dan volume TKKS dapat berkurang hingga 50% dalam waktu beberapa minggu (Scuchardt et.al., 2001).

Komposting Tandan Kosong Sawit Menggunakan Berbagai Jenis Aktivator

Sementara itu Sri Wahyono, dkk. mencoba peneliti komposting TKKS dengan tujuan untuk mengetahui proses pembuatan TKKS menjadi pupuk organik kompos secara optimal dengan melihat pengaruh penggunaan aktivator komersial dalam proses komposting TKKS sistem windrow (Wahyono, S. et.al., 2002).

Aktivator berasal dari bahasa inggris yang artinya pemicu proses. Aktivator biasa juga disebut inoculant. Aktivator komposting yang diperdagangkan di Indonesia dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis. Aktivator dapat berbentuk padat maupun cair. Aktivator merupakan kumpulan dari mikroorganisma yang diharapkan dapat berfungsi untuk mempercepat proses komposting dan memperkaya keanekaragaman mikroba. Aktivator yang diperdagangkan dapat berupa kultur murni (pure culture) dan kultur campuran (mixed culture). Aktivator kultur murni hanya berisi satu jenis mikroba, sedangkan aktivator kultur campuran terdiri dari berbagai macam jenis mikroba, misalnya bakteri pendegradasi lignin, selulosa, protein, lemak, dsb. Saat ini di Indonesia beredar berbagai merek aktivator baik produksi lokal maupun luar negeri. Dalam penelitian ini dicoba aktivator mixed culture dengan merk OrgaDec, Starbio, dan EM4.

OrgaDec (kependekan dari organic decomposer) merupakan aktivator komposting aerobik yang mengandung fungi Trichoderma pseudokoningii dan Cytophaga sp. Menurut hasil percobaan mereka, TKKS yang dicacah hingga berukuran 2,5 cm dapat dikomposkan dalam waktu 14 hari. Secara alami TKKS utuh akan melapuk secara alami setelah 12 – 18 bulan.

Starbio atau stardec merupakan aktivator komposting berbentuk serbuk yang mengandung berbagai kelompok mikroba seperti mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, aminolitik dan mikroba fiksasi nitrogen non-simbiotik. Activator tersebut diisolasi dari tanah hutan, akar rumput-rumputan dan kolon sapi. Dikatakan bahwa komposting dengan menggunakan aktivator tersebut hanya membutuhkan 5 minggu.

Larutan (EM4) ditemukan oleh Prof. Teruo Higa dari Jepang. Larutan EM4 mengandung lima golongan mikroba yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., Streptomyces sp., ragi dan actinomycetes. Disebutkan proses komposting dengan EM4 hanya berlangsung 4 sampai 7 hari. Kompos yang dihasilkan melalui fermentasi tersebut disebut bokashi.

Bahan baku penelitian berupa TKKS sebanyak 9,56 m3 atau 2 ton yang berasal dari Pabrik Sawit Kertajaya – Pandeglang. Secara garis besar tahapan proses penelitian pemanfaatan TKK menjadi kompos dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. TKKS yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Kertajaya – Pandeglang dengan jumlah sekitar 9,56 m3 atau 2 ton. TKKS diambil dari PKS Kertajaya, kemudian dibawa dengan truk ke lokasi daur ulang sampah plastik di Bekasi – Jawa Barat untuk dicacah. Pencacahan tersebut dilakukan dangan satu unit mesin pencacah yang biasa digunakan untuk mencacah plastik. TKKS dicacah menjadi serpihan-serpihan berserat dengan panjang antara 5 sampai 15 cm. Cacahan TKKS kemudian dimasukan ke dalam karung dan kemudian dibawa ke Laboratorium Lapangan Penelitian Daur Ulang Limbah Padat di Rawasari – Jakarta Pusat.

Di Laboratorium Lapangan tersebut, selanjutnya diadakan penelitian pemanfaatan TKKS menjadi produk kompos. Proses komposting yang dipakai adalah sistem open windrow. Dalam sistem tersebut TKKS yang telah dicacah ditumpuk dengan bentuk trapesium memanjang dengan ukuran lebar 120 – 200 cm, tinggi 80 – 85 cm, panjang 120 – 200 cm. Dalam penelitian ini dibuat empat tumpukan, satu tumpukan tidak menggunakan aktivator dan tiga lainnya menggunakan aktivator. Banyaknya penambahan aktivator disesuaikan dengan dosis pemakaian yang dianjurkan oleh masing-masing produk.

Penambahan aktivator dilakukan secara berlapis-lapis setiap ketebalan tumpukan 30 cm. Secara reguler yaitu seminggu sekali tumpukan TKKS dibalik dan disiram dengan air seperlunya. Setiap dua minggu sekali dari keempat tumpukan yang berbeda tersebut diambil sampelnya untuk dianalisis karakter fisik dan kimianya, yakni pH, kadar air, kandungan N, NH3, NO3, P2O5, K2O, dan C organiknya. Proses komposting dipantau terus sampai menjadi kompos matang. Parameter yang dipantau antara lain suhu, penurunan volume dan berat, kandungan kimianya dan kebutuhan air. Temperatur proses komposting dipantau setiap hari, sedangkan penurunan berat dan volume tumpukan diukur seminggu sekali. Setelah jadi kompos matang kemudian diayak dan dihitung prosentase kehalusan fisik kompos.

Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain adalah bahwa (i) ditinjau dari parameter kematangan kompos seperti rasio C/N, profil temperatur, penyusutan volume dan penampilan fisik kompos, kecepatan proses komposting TKKS dengan penambahan aktivator (OrgaDec, Biostar dan EM4) dan komposting tanpa aktivator relatif sama yaitu sekitar 13 minggu, (ii) kebutuhan air untuk proses komposting TKKS berkisar antara 1,7 sampai 2,3 m3, (iii) kandungan unsur hara kompos sekitar 0,4 % (N), 0,029 sampai 0,05 % (P2O5), 0,15 sampai 0,2 % (K2O).

Rabu, 07 Juli 2010

VERMICOMPOSTING: Komposting dengan Cacing Tanah

Vermicomposting berasal dari bahasa Inggris vermes (cacing) dan composting (pengkomposan). Dengan demikian vermicomposting sering diartikan sebagai proses pembuatan kompos melalui budidaya cacing. Dalam budidaya tersebut diperoleh dua produk yaitu biomassa cacing dan casting (produk seperti kompos yang dalam bahasa Indonesia disebut kascing).

Pada awalnya teknologi vermicomposting digunakan untuk menangani limbah padat organik yang berasal dari peternakan. Limbah padat peternakan khususnya kotoran ternak cocok untuk budidaya cacing karena strukturnya relatif halus, dan kaya akan nutrisi. Dalam perkembangannya, vermicomposting tidak hanya terbatas untuk menangani limbah peternakan, tetapi juga untuk menangani sampah organik rumah tangga dan sampah kota.

Namun apabila dibandingkan dengan budidaya cacing melalui media kotoran ternak, Vermicomposting sampah organik kota kurang populer karena membutuhkan relatif banyak biaya, tenaga, peralatan, dan perhatian yang intensif dibandingkan dengan sistem penanganan sampah organik lainnya, seperti pengkomposan sistem open windrow. Selain itu penanganan sampah organik kota dengan vermicomposting juga memiliki risiko kegagalan yang tinggi apabila pengelolaanya tidak tekun dan profesional.

Namun demikian, penerapan teknologi vermicomposting untuk menangani sampah organik kota skala kecil atau skala rumah tangga masih memungkinkan. Para penghuni rumah tangga dapat melakukannya sendiri. Pengetahuan atau informasi mengenai vermicomposting skala rumah tangga sekarang relatif mudah didapatkan. Pelatihan budidaya cacing sudah sering dilakukan dan buku-buku petunjuk budidaya cacing atau vermicomposting juga mudah didapatkan di toko-toko buku. Bibit cacing saat ini banyak tersedia di beberapa pengusaha cacing.

Di beberapa negara seperti Kanada, Australia, Kuba dan India, aktifitas kegiatan vermicomposting pada tingkat rumah tangga dan gardener sudah cukup populer.

Melakukan kegiatan vermicomposting untuk menangani sampah organik seperti sampah rumah tangga atau sampah kota membutuhkan ketekunan dan keterampilan tersendiri. Tanpa ketekunan proses vermicomposting tidak akan berjalan baik karena kegiatan tersebut tidak ada bedanya dengan kegiatan beternak. Yang diternakan dalam hal ini adalah cacing tanah yang notabene adalah hewan yang sensitif terhadap perubahan lingkungan, jenis pakan, dan hama pengganggu. Sementara itu, vermicomposting sampah memerlukan perhatian yang lebih serius daripada vermicomposting kotoran ternak, karena sampah yang akan dijadikan media atau pakan cacing perlu disortir dahulu secara selektif. Pada pokoknya, ketekunan dan keterampilan sangat diperlukan dalam kegiatan vermicomposting atau daur ulang sampah organik menjadi kascing.

KLASIFIKASI, JENIS, DAN SIFAT CACING TANAH

Klasifikasi Secara Umum

Dalam bahasa Inggris cacing sering disebut dengan istilah worm, vermes, dan helminth. Cacing, dalam kerajaan binatang termasuk hewan invertebrata atau tanpa tulang belakang. Cacing diklasifikasikan kedalam tiga phylum, yaitu Platyhelminthes, Aschelminthes (Nemathelminthes), dan Annelida (Listyawan, et.al. 1998).

Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang berbentuk pipih, ada yang parasit dan ada yang tidak. Platyhelminthes dibagi dalam tiga kelas yakni Turbelaria, Trematoda dan Cestoda. Kelompok Turbelaria umumnya hidup bebas dan tidak bersifat parasit. Contohnya adalah cacing planaria dan microstomum. Di alam, planaria merupakan hewan indikator perairan yang tidak tercemar. Kelompok Trematoda dan Cestoda umumnya bersifat parasit. Contoh dari kelompok Trematoda adalah cacing Fasciola hepatica (cacing hati), Eurytrema pancreaticum (cacing kelenjar pankreas), dan Schistosoma japonicum (cacing pembuluh darah). Sementara itu contoh dari kelompok Cestoda adalah cacing pita (Taenia saginata dan T. solium) (Listyawan, et.al. 1998).

Phylum Aschelminthes terbagi menjadi dua kelas yaitu Nematoda dan Rotifera. Cacing dari phylum ini berbentuk silindris. Nematoda umumnya bersifat parasit, contohnya adalah cacing yang hidup di usus mamalia seperti Ascharis lumbricoides, A. suum, dan Ancylostoma duodenale (Listyawan, et.al. 1998).

Phylum yang terakhir yaitu Annelida, yaitu cacing yang bersegmen seperti cincin. Phylum ini terbagi menjadi tiga kelas yaitu Polychaeta, Hirudinea, dan Oligochaeta. Polycaheta merupakan kelompok cacing yang memiliki banyak seta atau sisir di tubuhnya, contohnya adalah Nereis dan Arenicola. Sedangkan contoh dari kelompok Hirudinea adalah lintah dan pacet (Hirudo medicinalis dan Haemadipsa zeylanica). Kelas terakhir dari phylum Annelida adalah Oligochaeta dimana cacing tanah termasuk di dalamnya (Listyawan, et.al. 1998).

Jenis-jenis Cacing Tanah

Cacing tanah oleh beberapa praktisi dikelompokan berdasarkan warnanya yaitu kelompok merah dan kelompok abu-abu. Kelompok warna merah antara lain adalah Lumbricus rubellus (the red woorm), L. terestris (the night crawler), Eisenia foetida (the brandling worm), Dendroboena, Perethima dan Perionix. Sedangkan kelompok abu-abu antara lain jenis Allobopora (the field worm) dan Octolasium (Listyawan, et.al. 1998). Pada dasarnya cacing tanah adalah organisme saprofit, bukan parasit dan tidak butuh inang. Ia murni organisme penghancur sampah.

Jenis cacing yang umum dikembangkan di Indonesia adalah L. rubellus. Cacing ini berasal dari Eropa, ditemukan di dataran tingi Lembang - Bandung oleh Ir. Bambang Sudiarto pada tahun 1982. Dilihat dari morfologinya, cacing tersebut panjangnya antara 80 – 140 mm. Tubuhnya bersegmen-segmen dengan jumlah antara 85 – 140. Segmentasi tersebut tidak terlihat jelas dengan mata telanjang. Yang terlihat jelas di bagian tubuhnya adalah klitelum, terletak antara segmen 26/27 – 32. Klitelum merupakan organ pembentukan telur. Warna bagian punggung (dorsal) adalah coklat merah sampai keunguan. Sedangkan warna bagian bawah (ventral) adalah krem. Pada bagian depan (anterior) terdapat mulut, tak bergigi. Pada bagian belakang (posterior) terdapat anus (Listyawan, et.al. 1998).

Sifat Cacing Tanah

Cacing tanah tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya karena cacing bersifat hermaprodit alias dalam satu tubuh terdapat dua alat kelamin, jantan dan betina. Namun cacing tanah tidak dapat melakukan perkawinan sendirian. Untuk kawin ia membutuhkan pasangan untuk pertukaran sperma (Simandjuntak, 1982).

Cacing tanah merupakan hewan nokturnal dan fototaksis negatif. Nokturnal artinya aktivitas hidupnya lebih banyak pada malam hari sedangkan pada siang harinya istirahat. Fototaksis negatif artinya cacing tanah selalu menghindar kalau ada cahaya, bersembunyi di dalam tanah. Bernafasnya tidak dengan paru-paru tetapi dengan permukaan tubuhnya. Oleh karena itu permukaan tubuhnya selalu dijaga kelembabannya, agar pertukaran oksigen dan karbondioksida berjalan lancar.

Usia cacing tanah bisa mencapai 15 tahun, namun umur produktifnya hanya sekitar 2 tahun. Cacing dewasa yang berumur 3 bulan dapat menghasilkan kokon sebanyak 3 kokon per minggu. Di dalam kokon terdapat telur dengan jumlah antara 2 – 20 butir. Telur tersebut akan menetas menjadi juvenil (bayi cacing) setelah 2 – 5 minggu. Rata-rata hidup cacing adalah 2 ekor perkokon. Cacing akan menjadi dewasa dan siap kawin wetelah berumur 2 – 3 bulan (Maskana, 1990).

Dalam pertumbuhannya, pertambahan berat cacing sampai berumur satu bulan adalah sekitar 400 persen, 1 – 2 bulan 300 persen, dan 2 –3 bulan 100 persen. Dalam satu siklus (3 bulan) 1 kg induk cacing menghasilkan 6 kg cacing. Dalam 1 kg cacing terdapat sekitar 2000 ekor. Sedangkan berat keringnya adalah sekitar 20 persen dari berat basah (Maskana, 1990).

TATA CARA VERMICOMPOSTING

Terdapat tiga fase dalam tata laksana vermicomposting, yaitu fase persiapan, pelaksanaan, dan perawatan. Fase persiapan meliputi penentuan lokasi, pemilihan sistem, pembuatan bangunan, dan pengadaan alat. Fase pelaksanaan meliputi pembuatan media, pengadaan bibit, dan penanaman. Sedangkan fase perawatan meliputi pemberian pakan, pembalikan, penggantian media, pemanenan media, pengontrolan media, dan pengontrolan hama.

1. Fase Persiapan
1.1. Penentuan Lokasi.


Lokasi vermicomposting sebaiknya sedekat mungkin dengan sumber sampah yang akan ditangani sehingga akan menghemat ongkos angkut sampah. Di sana diperlukan pula sumber air untuk keperluan penyiraman pada saat pembuatan media cacing. Untuk itu dibutuhkan pula penerangan.

1.2. Pemilihan Sistem.


Sistem vermicomposting meliputi sistem rak bertingkat, sistem larikan dan sistem bak atau lubang. Pada sistem rak, cacing tanah dipelihara dalam wadah yang diletakan pada rak. Wadah dapat berupa bak plastik, kayu, bambu, dsb. Sistem larikan dilakukan dengan menempatkan media pemeliharaan cacing dalam suatu larikan memanjang di atas lahan tanpa pembatas pada bagian pinggirnya. Sedangkan pada sistem bak atau lubang cacing ditempatkan di dalam bak atau lubang. Ketiga sistem tersebut disesuaikan dengan kemudahan para pekerja dalam penanganan, perawatan, pengontrolan dan pendugaan produksi cacing dan casting.

Kelebihan sistem rak dibandingkan dengan sistem larikan atau bak/lubang antara lain adalah lebih hemat lahan, pengontorolan lebih mudah, produksi cacing lebih mudah diatur, serangan hama mudah dicegah, kokon yang dihasilkan tidak banyak terbuang. Sedangkan kekurangannya adalah modal yang diperlukan relatif tinggi karena perlu dibangun sistem rak. Kebutuhan tenaga kerja juga tinggi.

Sedangkan kelebihan sistem larikan atau bak/lubang dibandingkan dengan sistem rak bertingkat adalah produksi kascing lebih besar, modal rendah, tenaga kerja lebih sedikit, dan pemanenan lebih mudah. Sedangkan kekurangannya adalah butuh lahan yang banyak dan kokon banyak terbuang.

1.3. Pembuatan Bangunan.

Pada prinsipnya vermicomposting itu sebaiknya tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara langsung. Untuk usaha skala kecil, vermicomposting dapat dilakukan di emperan rumah atau di bawah naungan pohon. Sedangkan untuk usaha skala lebih besar diperlukan bangunan los terbuka beratap. Bangunan sebaiknya dipagar untuk menghindari hewan pengganggu. Lantai sebaiknya bersemen dan ada sistem drainase agar terlihat rapi dan bersih.

1.4. Pengadaan alat.

Beberapa alat bantu yang diperlukan dalam vermicomposting antara lain cangkul biasa, cangkul garpu, golok, timbangan, plastik terpal, sarung tangan, ember, karung dan gerobak dorong. Sedang alat analisa yang diperlukan antara lain termometer, soil tester dan pH meter.

2. Fase Pelaksanaan
2.1. Pembuatan media.


Media dapat dibuat dari “sampah basah” seperti sampah pasar, sampah kebun, sampah rumah tangga, dll. Bahan baku media tersebut akan lebih baik apabila dicampur dengan kotoran ternak. Bahan tersebut kemudian dibuat sebagai media melalui cara pengkomposan selama 15 – 21 hari. Sebelumnya bahan-bahan tersebut dicacah 2 – 3 cm. Setelah dikomposkan setengah matang, media tersebut diangin-anginkan selama 2 hari. Media yang baik warnanya tidak terlalu gelap, baunya tidak menyengat, kandungan airnya 60 persen, pH 6,8 – 7,2, temperatur 26 – 32oC, berongga dan mengandung zat pakan yang cukup (Maskana, 1990).

2.2. Pembuatan pakan.

Pakan dapat berasal dari sampah organik, kotoran ternak atau gabungan keduanya. Untuk sampah organik perlu diblender terlebih dahulu kemudian diperam selama sehari-semalam. Untuk kotoran ternak, kotoran tersebut didiamkan dahulu selama 3 hari, kemudian di tambahkan air menjadi bubur.

2.3. Pengadaan bibit.

Bibit cacing yang baik berumur sekitar 3 bulan. Biasanya klitelumnya sudah terlihat, warnanya cerah, gerakannya aktif dan gesit, peka terhadap sentuhan, bentuk tubuh berisi dan tidak cacat.

2.4. Penanaman.

Cacing tanah ditabur sedikit demi sedikit secara merata di atas media. 20 liter media membutuhkan cacing sekitar 1 kg (Maskana, 1990). Setelah dilakukan penanaman media harus ditutup agar suasananya gelap bagi cacing. Jika medianya cocok cacing akan betah di dalamnya. Sedangkan kalau tidak cocok, cacing akan muncul ke permukaan dan mengumpul. Hal itu dapat disebabkan antara lain karena media masih terlalu panas, kandungan airnya terlalu tinggi atau media tersebut mengandung minyak, pestisida atau sabun.

3. Fase Perawatan
3.1. Pemberian pakan.


Banyaknya pakan yang diperlukan cacing secara teoritis adalah seberat badannya. Pakan ditaruh di atas media secara merata. Pemberian pakan dapat dilakukan sehari sekali atau dua hari sekali.

3.2. Pembalikan.

Di dalam perawatan cacing tanah media harus dibalik agar tetap porous. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan tangan secara langsung seminggu sekali apabila sudah terlihat memadat.

3.3. Pengontrolan Media.

Media perlu dikontrol apabila terjadi hal-hal yang tidak wajar terhadap cacing, misalnya cacing tidak betah di media itu. Biasanya faktor yang harus dikontrol adalah kadar keasaman (pH), kelembaban dan suhu. pH yang cocok untuk cacing tanah yaitu sekitar 6,8 – 7,2, kelembaban 28 – 42% atau kandungan kadar air 60% dan suhu 26o – 32oC. Pemeriksaan kelembaban dan suhu dilakukan setiap hari, sedangkan ph cukup 7 – 15 hari sekali (Maskana, 1990).

3.4. Pengontrolan hama.

Hama cacing bermacam-macam. Ada yang memakannya ada pula yang memanfaatkan media menjadi sarangnya. Di antara mereka adalah unggas ( ayam, burung, bebek, dll.), tikus, katak, kadal, tupai, semut, kecoa, dan lipan. Untuk mengontrol hama pemangsa, alternatif terbaiknya adalah dengan membuat pagar atau penghalang yang dapat mencegah masuknya hama tersebut. Sedangkan untuk hama pengganggu dilakukan dengan cara mengontrol media agar tidak terlalu kering dan teknik perawatan lainnya serta menjaga kebersihan kandang (Soenanto, 2000 dan Listyawan et.al. 1998).

3.5. Pemanenan.


Penggantian media atau pemanenan biasanya dilakukan setelah 30 hari penanaman di mana kondisi media sudah seperti tanah. Pemanenan kascing dapat dilakukan dengan berbagai cara. Untuk vermicomposting yang dilakukan di dalam wadah cara yang mudah adalah dengan sistem piramid. Sedangkan untuk skala besar dilakukan dengan sistem blok (horisontal), sistem tangga (vertikal) dan sistem pancingan (Maskana, 1990; Listyawan et.al. 1998).

Sistem piramid dilakukan dengan cara menggembur-gemburkan media dan membentuknya menjadi seperti piramid dan secara alamiah cacing akan berkumpul di bagian bawah piramid sehingga bagian atas piramid tersebut dapat dipanen.

Sistem horisontal dilaksanakan dengan cara menggeser media lama sehingga terdapat ruangan kosong. Kemudian ruangan kosong tersebut diisi dengan media baru. Cacing sedikit demi sedikit akan berpindah ke media baru, meninggalkan media lama sehingga media lama yang sudah menjadi casting dapat dengan mudah dipanen.

Sistem vertikal prinsipnya seperti sistem horisontal, hanya saja media baru diletakan di bawah media lama. Cacing akan berpindah ke media baru, sehingga media lama yang berada di atas akan ditinggalkan cacing. Sistem pancing dilakukan dengan meletakan pakan di atas media. Cacing akan berkumpul menyantap pakan yang berada di permukaan media. Pada saat ini cacing dapat dipisahkan dengan media.

3.6. Pembibitan Cacing

Setelah berumur dua tahun produktivitas cacing tanah sudah menurun sehingga perlu diganti dengan cacing yang masih produktif. Untuk itu aspek pembibitan cacing menjadi penting untuk dilaksanakan. Untuk pembibitan, cacing dewasa ditanam di media baru untuk menghasilkan kokon (telur) selama 3 sampai 4 minggu. Setelah terdapat banyak kokon, cacing induk dikeluarkan dan kokon tersebut dibiarkan menetas selama sekitar 6 minggu. Setelah itu setiap 2 minggu sekali media diganti dengan media baru sampai anakan cacing berumur 1 – 3 bulan.

HASIL PANEN VERMIKOMPOSTING

Kascing

Dibandingkan dengan pupuk organik kompos, secara khusus, casting strukturnya lebih halus dan memiliki kandungan fitohormon yang diperlukan bagi tanaman. Namun secara umum manfaatnya tidak berbeda dengan kompos lainnya yakni sebagai soil conditioner. Kascing mengandung berbagai unsur hara dan mineral penting yang dibutuhkan oleh tanaman. Kascing juga memperbaiki struktur dan tekstur lahan kritis dan tanah pertanian. Kascing meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi keanekaragaman mikroorganisma tanah. Selain itu, kascing juga meningkatkan daya ikat tanah terhadap air dan kompos dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk kimia.

Biomassa Cacing

Sedangkan biomassa cacing dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani, dan bahan baku obat dan kosmetik, bahan makanan dan minuman, serta sebagai pakan ternak. Kandungan protein hewani cacing antara 60% – 72% (PEC, 1982). Kandungan asam amino pergramnya lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan dan daging. Cacing tanah sering digunakan sebagai obat penurun panas, darah tinggi, rematik dan tifus. Untuk kosmetik, tepung cacing dimanfaatkan sebagai bahan lipstik dan pelembab. Di beberapa negara cacing tanah bukan hanya untuk pakan ternak tetapi digunakan sebagai makanan seperti verne de tere (Perancis), perkedel lumbricus (Filipina), vermiburger dan vermijuice.

Senin, 05 Juli 2010

Sampah Elektronik: Tanggung Jawab Produsen

Pemusnahan ataupun pendaurulangan menyeluruh rongsokan elektronik memang boleh dikatakan tersendat-sendat dan menemui jalan buntu, padahal laju produksi sampah elektronik terus membumbung tinggi. Laju produksi sampah elektronik naik karena sebagian besar produk elektronik, seperti komputer, mempunyai masa pakai yang semakin pendek karena produsen hardware dan sofware secara konstan menciptakan program-program baru untuk memenuhi kebutuhan akan proses data yang lebih cepat dan memori yang lebih besar. Dalam tahun 1997, masa pakai rata-rata CPU komputer antara 4 sampai 6 trahun dan monitor 6 sampai 7 tahun. Sementara itu pada tahun 2005 ini masa pakainya menjadi sekitar 2 tahun (US EPA, 1998). Selain itu, saat ini, harga komputer relatif semakin murah sehingga lebih nyaman membeli komputer generasi baru daripada meng-upgrade yang lama.

Sebuah studi di AS mengetengahkan bahwa pada tahun 2004 yang lalu terdapat sekitar 315 juta komputer yang tidak terpakai lagi alias menjadi sampah. Nasib akhir dari rongsokan tersebut adalah ditumpuk di gudang, dibuang di TPA, dibakar di insinerator, atau diekspor ke negara lain. Hanya sekitar 6 persen yang didaurulang. Di Indonesia, sejauh ini belum ada data seberapa banyak sampah elektronik yang diproduksinya, tapi diperkirakan produksinya akan terus meningkat seiring dengan kemajuan jaman.

Salah satu usaha untuk meminimalisir sampah elektronik adalah dengan menerapkan program extended producer responsibility (EPR), suatu program di mana produser bertanggungjawab mengambil kembali (take back) produk-produk yang tidak terpakai lagi. Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produser meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumberdaya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses. Produser harus bertanggungjawab terhadap semua hal termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya.

Sampah Elektronik: Didaur Ulang atau Dibuang ke Negara Berkembang?

Usaha untuk mendaurulang sampah elektronik menghadapi masalah karena dalam prosesnya sulit dan beresiko tinggi terhadap para pekerja, serta menghasilkan produk-produk sekunder yang beracun. Sebagai contoh, proses extruding dalam kegiatan daur ulang plastik dari sampah elektronik dan proses recovery logam menghasilkan PBDE, dioksin, dan furan. Di Swedia contohnya, para pekerja yang bekerja di fasilitas daur ulang sampah elektronik, setiap harinya terekspos PBDE yang lepas ke udara sehingga darahnya mengandung PBDE tujuh puluh kali lipat dibandingkan dengan para medis di rumah sakit.

Pembakaran sampah elektronik di insinerator juga sangat berbahaya karena menghasilkan dioksin dan logam berat. Senyawa polyvinylchloride (PVC), biasanya terdapat di kabel dan body barang elektronik, ketika dibakar akan membentuk polychlorinated dibenzodioxins (dioksin) dan polychlorinated dibenzofurans (furan), suatu senyawa yang bersifat persisten, terakumulasi secara biologis, dan bersifat karsinogen.

Selain itu dioksin juga mengganggu sistim hormon, mempengaruhi pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan sistim kekebalan tubuh. Diketahui pula bahwa slag, fly ash, flue gas dan filter cake yang dihasilkan dari pembakaran sampah elektronik mengandung logam berat yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika insinerator sampah, seperti yang berada di Kanada dan AS, menjadi sumber utama pencemaran dioksin dan logam berat di udara.

Mengingat resiko dan sulitnya mendaurulang sampah elektronik, beberapa negara maju membuang barang elektronik yang sudah ‘kedaluwarsa’ sebelum jadi sampah, seperti komputer, ke negara sedang berkembang atas nama barang elektronik second. Bagi negara pengimpor untuk sementara memang diuntungkan dengan barang elektronik harga murah meriah, tapi dalam jangka panjang harus menanggung beban pencemaran lingkungan B3 dari komponen-komponen rongsokan elektronik. Sedangkan bagi negara pengekspor mendapatkan keuntungan lingkungan terbebas dari B3 dan penghematan anggaran dimana biaya ekpor bisa lebih murah 10 kali lipat daripada untuk mendaurulangnya.

Ekspor produk elektronik atau limbah B3 dari negara maju ke negara-negara sedang berkembang tentu saja sangat memprihatinkan sehingga pada tahun 1989 masyarakat dunia menyusun Konvensi Basel tentang Transboundary Movement of Hazardous Waste for Final Disposal untuk menghentikan negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) membuang limbah B3 lintas negara. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 melalui Keppres No. 61/1993 dalam rangka mencegah masuknya limbah B3 karena Indonesia juga merupakan salah satu sasaran pembuangan limbah B3. Saat ini negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel berjumlah 164 negara.

Pertemuan para pihak Konvensi Basel, bulan Maret 1994, telah melarang semua ekspor limbah B3 untuk pembuangan akhir dari negara industri ke negara non-OECD. Para pihak juga memutuskan melarang semua ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan baku, mulai 31 Desember 1997. Namun demikian, kegiatan ekspor-impor limbah B3 termasuk sampah elektonik terus berlanjut. Berbagai lobi ekspor-impor komputer second tetap dilakukan oleh AS, misalnya, terhadap beberapa negara seperti Cina dan Taiwan. Hal itu tentu saja bertentangan dengan Konvensi Basel dan mengundang reaksi keras para aktivis lingkungan dunia.

Sampah Elektronika Berbahaya Bagi Kesehatan

Di abad informasi ini, barang-barang elektronik seperti komputer, telepon genggam, tape recorder, VCD player, dan televisi bukanlah benda yang asing lagi bagi kita. Barang-barang elektronik tersebut bukan hanya akrab di kalangan penduduk kota akan tetapi juga telah dikenal dengan baik oleh masyarakat yang tinggal di pelosok desa sekalipun. Dan bahkan bagi sebagian orang, barang tersebut merupakan kebutuhan vital yang harus terpenuhi seperti layaknya sembako. Kebutuhan akan layanan informasi dan pengolahan data telah menempatkan barang-barang elektronik menjadi kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, seperti layaknya barang-barang lainnya, setelah masa tertentu, produk-produk elektronik itu tentu saja menjadi benda yang tidak dipakai lagi karena sudah ada penggantinya dalam versi terbaru atau karena rusak. Jika sudah demikian, jadilah barang-barang tersebut menjadi rongsokan elektronik atau sampah yang biasanya mengokupasi sudut-sudut ruang kerja dan gudang di rumah atau kantor kita. Kita kadangkala mengalami kesulitan untuk membuangnya, karena tidak semua tukang servis atau pemulung mau menerima rongsokan yang sudah kedaluwarsa dan tidak ada lagi pasarnya.

Tahukah Anda status sampah dari rongsokan elektronik dan tingkat bahayanya? Rongsokan atau sampah elektronik mengandung sekitar 1000 material, sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) karena merupakan unsur berbahaya dan beracun seperti logam berat (merkuri, timbal, chromiun, kadmium, arsenik, dsb.), PVC, dan brominated flame-retardants. Merujuk PP Nomor 18 Tahun 1990 jo PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, maka limbah tersebut tergolong limbah B3 berkarakter racun.

Seperi layaknya limbah B3 lainnya, sampah elektronik menimbulkan masalah ketika dibuang, dibakar, atau didaurulang. Ketika dibuang di TPA, sampah elektronik menghasilkan lindi yang mengandung berbagai macam logam berat terutama merkuri, timbal, chromiun, kadmium dan senyawa berbahaya seperti polybrominated diphennylethers (PBDE).

Logam merkuri dikenal dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf otak, serta menyebabkan cacat bawaan seperti yang terjadi pada kasus Teluk Minamata, Jepang. Sedangkan timbal, selain dapat merusak sistem saraf, juga dapat mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, dan perkembangan otak anak. Timbal dapat terakumulasi di lingkungan dan dapat meracuni tanaman, hewan, dan mikkroorganisma.

Sementara itu, chromium dapat dengan mudah terabsorpsi ke dalam sel sehingga mengakibatkan berbagai efek racun, alergi, dan kerusakan DNA. Lantas kadmium adalah logam beracun yang efeknya tidak dapat balik bagi kesehatan manusia. Kadmium masuk ke dalam tubuh melalui respirasi dan makanan dan kemudian merusak ginjal.

Sementara itu, senyawa PBDE merupakan salah satu jenis brominated flame-retardants, suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi tingkat panas (flammability) pada bagian produk elektronik seperti PCB, komponen konektor, kabel, dan plastik penutup TV atau komputer. Ekspos terhadap PBDE diduga dapat merusak sistem endokrin dan mereduksi level hormon tiroksin di hewan mamalia dan manusia sehingga perkembangan tubuhnya menjadi terganggu.

Jenis lain dari brominated flame-retardants adalah polybrominated biphennyls (PBB). Sekali PBB terlepas ke lingkungan, senyawa tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan dan terakumulasi di dalam jaringan makhluk hidup. Seperti halnya ikan-ikan yang hidup di beberapa wilayah Perairan Artik (AS), terdeteksi mengandung PBB yang diduga berasal dari lindi (leachate) tumpukan sampah elektronik. Satwa burung dan mamalia, seperti anjing laut yang mengkonsumsi ikan di perairan tersebut pada akhirnya juga mengandung PBB dalam kadar yang cukup tinggi.

Sementara itu, sebuah laporan riset yang dipublikasikan pada tahun 1998 yang menyelidiki insiden tercampurnya PBB ke dalam pakan sapi di Michigan (AS) pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa ekspos terhadap PBB berlanjut dari sapi yang mengkonsumsi pakan tersebut ke sembilan juta warga yang mengkonsumsi daging sapi itu. Disebutkan, manusia yang mengkonsumsinya menghadapi resiko 23 kali lebih tinggi terserang kanker saluran pencernaan seperti kanker lambung, pankreas, liver, dan limfa.

Oleh karena itu pembuangan limbah B3 tidak boleh asal timbun, tetapi harus pada timbunan limbah B3 kategori I sesuai Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan Limbah B3.

Sabtu, 03 Juli 2010

Prospek Bisnis Sampah Kertas

Permasalahan sampah kertas tidak terlepas dari permasalahan sampah secara keseluruhan. Permasalahan tersebut meliputi aspek teknis-operasional, hukum, pendanaan, sosial, dan institusi atau manajemen. Contoh paling populer dari permasalahan tersebut antara lain semakin sulitnya mencari lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) di daerah perkotaan dan mahalnya biaya transportasi sampah. Sementara itu, biaya operasional dan pemeliharaan untuk transportasi sampah menjadi beban yang berat karena faktor volume sampah yang mesti diangkut dan jauhnya jarak dari sumber sampah ke TPA.

Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan sampah antara lain dengan mendorong usaha untuk mengurangi volume sampah. Usaha pengurangan atau minimalisasi volume sampah yang diangkut ke TPA antara lain dengan melakukan daur ulang sampah, termasuk di dalamnya daur ulang sampah kertas.

Dengan usaha daur ulang akan didapatkan manfaat berupa berdirinya industri daur ulang sampah dan pemberdayaan masyarakat. Sampah kertas sebagai salah satu bahan baku industri daur ulang saat ini belum terkelola dengan baik. Contoh dari hal tersebut adalah tidak adanya sistem pemilahan yang menyebabkan sebagian sampah kertas menjadi tercampur dengan sampah lainnya sehingga menjadi kotor dan hancur, akibatnya menjadi sulit untuk didaurulang. Hanya sekitar 70% sampah kertas yang dapat dikumpulkan oleh pemulung untuk dijual ke lapak. Padahal jumlah timbulan sampah kertas bisa mencapai sekitar 10% dari jumlah keseluruhan sampah.

Jumlah Timbulan Sampah Kertas

Jumlah timbulan sampah kertas relatif banyak. Sebagai contoh, kota Jakarta pada tahun 1997/1998 diperkirakan menghasilkan sampah kertas sejumlah 2.989 m3/hari, atau 10,11% dari jumlah sampah keseluruhan (29.568 m3/hari) (BPS, 1998). Sementara itu dari keseluruhan sampah kertas, sebanyak 71,2% (2.126 m3/hari) diambil oleh pemulung (BPPT, 1996).

Dalam lingkup nasional, (dengan asumsi jumlah penduduk 180 juta jiwa, laju produksi sampah 2 liter/orang/hari, dan komposisi 6,17%) jumlah timbulan sampah kertas di Indonesia dapat mencapai 1.599.000 ton/tahun. Sementara itu, sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk, jumlah timbulan sampah kertas akan terus meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah sampah jenis lainnya.

Sampah kertas jenisnya bermacam-macam, misalnya kertas HVS (kertas komputer dan kertas tulis), kertas kraft, karton, kertas berlapis plastik, dsb. Biasanya aktivitas yang berbeda menghasilkan jenis-jenis sampah kertas yang berbeda pula. Sebagai contoh, pabrik dan pertokoan lebih banyak menghasilkan sampah kertas jenis karton, sedangkan perkantoran dan sekolah lebih banyak menghasilkan kertas tulis bekas.

Masing-masing jenis kertas juga memiliki karakteristik tersendiri sehingga kemampuannya untuk didaurulang dan produknya juga berbeda-beda. Sementara itu sebagian besar kertas pembungkus makanan tidak didaurulang, begitu juga dengan kertas tissue. Kertas pembungkus makanan sulit didaurulang karena adanya lapisan plastik, sedangkan kertas tissue karena sifatnya yang mudah hancur.

Prospek Bisnis Kertas Bekas

Prospek pemasaran kertas bekas di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Sayangnya, sampah kertas yang dikonsumsi saat ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi oleh sampah kertas dari dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri kertas Indonesia masih mengimpor kertas bekas.

Pada tahun 1997, misalnya, tingkat kapasitas konsumsi kertas sebanyak 3.119.970 ton sedangkan sampah kertas yang kembali sebagai bahan baku kertas hanya mencapai 980.000 ton atau baru mencapai 31%. Padahal produksi sampah kertas skala nasional diprediksikan dapat mencapai 1.599.000 ton pertahunnya. Jadi prospek pemasaran kertas bekas masih terbuka lebar. Dari tabel tersebut dapat dihitung bahwa rata-rata peningkatan kebutuhan sampah kertas (asal Indonesia) mencapai 11,22% setiap tahunnya.

Pemasaran sampah kertas saat ini dilaksanakan lintas wilayah, misalnya dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya. Pada umumnya prosedur pengiriman sudah berdasarkan saling ketergantungan dan sifatnya mengikat, seperti misalnya, para pemasok biasanya telah mengadakan ikatan kontrak dengan para bandar untuk mendapatkan pasokan secara rutin.

Sebagian besar sampah kertas diserap oleh industri besar, sedangkan yang diserap oleh industri art paper relatif sedikit. Saat ini harga jual kertas bekas sekitar Rp. 700 - 1000/kg.

Jalur Perdagangan Sampah Kertas

Saat ini pemanfaatan sampah kertas melibatkan sektor formal dan informal seperti industri kertas, pemulung, lapak, bandar, dsb. Jalur pemanfaatan sampah kertas, dapat dilihat pada gambar. Menurut survei , masyarakat sebagai penghasil kertas masih jarang yang memanfaatkan langsung kertasnya.

Saat ini sebagian besar sampah kertas dijual oleh pemulung ke lapak, sedangkan sebagian kecil lainnya dijual langsung ke industri kecil daur ulang kertas. Dari lapak, sampah kertas atau kertas bekas dijual ke bandar, selanjutnya ke supplier atau pemasok. Oleh supplier sampah kertas dijual kepada industri kecil daur ulang kertas atau industri kertas.

Pemulung adalah orang yang mengumpulkan bahan baku daurulang dari tempat sampah dan menjualnya kepada lapak. Pemulung rata-rata memperoleh barang bekas sebanyak 10 – 35 kg/orang/hari dan menjualnya dengan keuntungan Rp. 3.000 – Rp. 6.000/orang/hari. Kehidupannya sangat tergantung dari lapak sebagai induk semangnya dan harga jual barang bekas.

Lapak berperan dalam menyortir barang bekas berdasarkan permintaan produsen daur ulang sesuai dengan harga yang disepakati. Lapak umumnya mempunyai lahan yang cukup luas untuk pengumpulan barang bekas dan tempat tinggal para pemulung. Selain itu lapak juga menyiapkan aspek pembiayaan bagi para pemulung. Penghasilan lapak dapat mencapai Rp. 15.000 – Rp. 800.000 perhari.

Bandar mengumpulkan barang pulungan dari para lapak. Sistem kerjanya seperti lapak, tetapi tidak berhubungan langsung dengan para pemulung. Supplier atau pemasok umumnya merupakan organisasi resmi yang digunakan oleh para lapak atau bandar berhubungan dengan pabrik untuk melakukan perjanjian kontrak.

Industri merupakan penerima sampah kertas sebagai bahan baku daur ulang. Industri penerima ada dua macam yaitu industri kecil dan industri besar. Industri kecil biasanya menerima sampah kertas sebagai bahan paper art seperti bok artistik, kartu ucapan, souvenir, dsb. Sedangkan industri besar mempergunakan sampah kertas untuk didaurulang menjadi pulp (bahan baku kertas).

Jumat, 02 Juli 2010

Merecovery dan Mendaur Ulang Sampah Puing

Secara umum pengelolaan sampah puing, terutama di negara-negara maju, ada tiga yaitu (i) reuse, (ii) recovery dan recycling, dan (iii) landfilling. Reuse yaitu memanfaatkan kembali material-material yang masih bisa diperbaiki sesuai dengan fungsinya, misalnya barang-barang furniture. Recovery adalah usaha untuk mendapatkan material-material yang berharga dari suatu barang atau benda, misalnya rangka baja pada puing bangunan. Material yang berhasil di-recovery merupakan bahan baku kegiatan daur ulang (recycling). Sedangkan pengertian landfilling adalah pembuangan puing di tempat yang telah ditentukan.

Peluang daur ulang sampah puing tergantung dari market masing-masing komponen dan kemampuan teknis dalam memisahkan dan memproses komponen tersebut. Sampah puing antara lain terdiri atas pasir, batu, beton, perkakas kayu, batu-bata, pecahan kaca, material plastik, asbes, genteng, pipa air, komponen elektrik, aspal, dan logam atau rangka baja. Bahan-bahan utama yang di-recovery untuk didaurulang umumnya adalah beton, kayu, aspal, dan logam.

Dalam fasilitas recovery dan daur ulang puing seperti di Australia, AS, dan Eropa, setelah puing berbahan dasar kayu dipisahkan, sampah puing dibawa dengan front-end loader dimasukan ke pengayak getar sistem dua tahap (two satges vibrating screen). Pengayak pertama digunakan untuk memisahkan puing-puing berukuran besar seperti beton, akar dan materi serupa lainnya. Pengayak kedua terletak dibawah pengayak pertama, digunakan untuk memisahkan material yang lebih halus dari pecahan beton dan kontaminan berukuran kecil lainnya. Material yang halus akan lolos melewati kedua ayakan tersebut untuk kemudian dibawa dengan konveyor ke pengayak getar kedua, di mana kontaminan dipisahkan. Produk akhirnya relatif bebas dari debu, kemudian ditumpuk untuk dijual.

Puing-puing beton yang berasal dari reruntuhan jalan, jembatan, dan fondasi bangunan, dapat dihancurkan untuk kemudian diayak sesuai dengan keperluan. Hasil ayakan berupa material-material yang kecil dapat digunakan sebagai agregate bangunan baru atau sebagai bantalan jalan. Sedangkan material yang agak besar dapat digunakan sebagai koral di tepi jalan atau dam. Material yang mengandung logam besi seperti bolt atau rangka beton dipisahkan tersendiri.

Sementara itu, puing-puing kayu dapat berupa triplek, particle board, papan kayu, rangka kayu, dsb. Puing yang biasanya diolah adalah kayu yang “bersih” karena produk olahannya umumnya digunakan untuk mulsa atau untuk bahan bakar boiler. Di fasilitas daurulang, sampah puing dibawa ke tempat terbuka, kemudian diratakan, dan material kayunya dipisahkan secara manual. Sampah kayu tersebut kemudian dihancurkan dengan wood grinder menjadi serpihan-serpihan kecil (wood chips), lantas diayak dengan trommel screener. Logam-logam seperti paku kemudian dipisahkan dengan magnetic separator. Serpihan kayu yang dihasilkan dari penghancuran tersebut dapat digunakan untuk mulsa lanskap, bedding ternak, bahan kompos, bahan bakar boiler, particle board, dan penutup landfill.

Puing-puing berbahan baku aspal dapat dihancurkan dengan hammermill untuk kemudian diayak. Umumnya puing aspal berasal dari kegiatan renovasi jalan dan trotoar. Material bekas bongkaran aspal tersbut dapat digunakan sebagai bantalan konstruksi jalan, atau digunakan kembali untuk membangun trotoar baru (sebagai material campuran 10-15 persen). Sementara itu, logam yang biasa digunakan untuk penguat bangunan atau sebagai keperluan lainnya dapat dipisahkan sesuai dengan jenisnya (besi, akumunium, tembaga, dsb.) secara manual atau dengan magnetic separator. Hasilnya dapat dijual ke industri daurulang. Pada tahun 1996 diperkirakan 20-30 persen sampah puing telah didaurulang di AS (US EPA, 1996). Diperkirakan pada tahun 2002 di AS berdiri fasilitas recovery dan daur ulang sampah puing lebih dari 3500 buah (Brichner, 1997).

Contoh kegiatan recovery terhadap sampah puing yang fenomenal adalah pemanfaatan sampah puing yang berasal dari reruntuhan Gedung World Trade Center di New York City, korban pengeboman teroris pada tanggal 11 September 2001. Puing-puing beton, yang berjumlah sekitar 1,6 juta ton sengaja dihancurkan menjadi serpihan-serpihan kecil sebagai material yang dapat dipergunakan lagi untuk berbagai keperluan seperti campuran cor beton, bantalan jalan, dsb. Sementara itu rongsokan besi, baja dan logam lainnya di ambil untuk dijual di pabrik pengecoran logam.

Namun tidak semua material puing sempat didaurulang dan tidak semua material dapat didaurulang. Seperti halnya sampah yang lain, material-material puing yang tidak termanfaatkan lagi ujung-ujungnya dibuang di TPA (landfilling). Bagi negara industri, TPA untuk puing biasanya dibedakan dengan TPA sampah kota. Hal itu sengaja dilakukan karena instalasi dan operasional TPA puing lebih longgar spesifikasinya sehingga tipping fee-nya relatif murah dibanding TPA sanitary landfill untuk sampah kota. Pada tahun 2002, di AS diperkirakan 35-45 persen sampah puing dibuang di TPA yang khusus diperuntukkan untuknya, sedangkan 20-40 persen yang lainnya dibuang di TPA sanitary landfill bersama sampah kota.

Dalam tahun 1996, diperkirakan AS memproduksi sampah puing sebanyak 136 juta ton atau sekitar 2,8 lb perkapita (US EPA, 1996). Dari sampah puing yang diproduksi, 57 persen berasal dari pemukiman dan 57 persen dari non-pemukiman. Dari penghancuran gedung dihasilkan 48 persen, renovasi 44 persen, dan dari konstruksi 9 persen dari total sampah puing.

Menurut Tchobanoglous (2002), sampah puing di AS persentasenya dalam sampah kota diestimasikan antara 8-20 persen. Biasanya komposisi sampah puing terdiri atas 40-50 persen rubbish (beton, aspal, batu-bata, blok, dan debu berpasir), 20-30 persen kayu dan produk-produknya (pallet, stump, cabang, forming and framing lumber, treated lumber, and shingles), dan 20-30 persen sampah lain (lumber yang dicat atau terkontaminasi, metal, produk berbahan tar, plaster, kaca, white good, asbestos, material insulasi, plumbing, pemanas dan komponen elektrik).

Di dalam TPA sanitary landfill, meskipun sampah puing itu sifatnya inert (tidak mudah terdekomposisi), proses dekomposisi dapat timbul ketika sampah puing bercampur dengan sampah kota. Sebagai contoh, particle board yang terbuat dari gipsum tidak secara total inert, tetapi ikut terurai secara anaerobik ketika dalam kondisi lembab menghasilkan gas hidrogen sulfida. Oleh karena itu, beberapa kota di AS memiliki aturan bahwa particle board harus dibuang secara terpisah dalam kantong yang tertutup. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa walaupun materi puing organik di dalam sampah adalah inert, dalam kondisi kelembaban 16 persen aktivitas penguraian secara biologis akan terjadi, yang mungkin saja akan menghasilkan lindi yang dapat mencemari air tanah.

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa pengelolaan sampah puing tidak hanya kegiatan pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan saja, tetapi juga perlu diperhatikan kemungkinan kegiatan reuse, recovery, dan daurulangnya. Kegiatan pengelolaan sampah puing, terutama yang diterapkan oleh beberapa negara maju seperti AS, barangkali dapat diambil sebagai pelajaran bagi seluruh stakeholder yang terkait dengan penanganan wilayah pasca bencana. Tentu saja sistem yang hendak diadopsi harus disesuaikan dahulu dengan situsai dan kondisi lokal sehingga pengelolaannya dapat berjalan efektif dan aman terhadap lingkungan. Pada level dasar, sistem pengelolaan sampah puing harus diintegrasikan dengan rencana pembangunan di bidang pengelolaan sampah kota pada umumnya. Sedangkan pada level di atasnya, pengelolaan sampah kota hendaknya menjadi bagian yang setara dengan kegiatan rehabilitasi struktur dan infrastruktur lainnya sehingga nantinya dapat dihindari petaka-petaka yang berasal dari pengelolaan sampah itu sendiri, seperti petaka TPA longsor, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.

Mangelola Sampah Puing dalam Kondisi Tanggap Darurat Bencana

Bencana alam seperti banjir, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami bukan hanya menyisakan kesedihan yang mendalam karena mengakibatkan meninggalnya orang-orang yang dicintai dan rusaknya sarana kehidupan, tetapi juga menyisakan puing-puing reruntuhan konstruksi bangunan dalam jumlah yang besar. Puing-puing bangunan, seperti yang berasal dari bangunan rumah, pertokoan, hotel, jembatan, dan sebagainya yang hancur akibat bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Aceh dan Nias, sangat menyulitkan kegiatan evakuasi korban bencana, kegiatan tanggap darurat, dan rehabilitasi pasca bencana. Di samping itu, jika tidak segera tertangani, reruntuhan puing bangunan dapat menjadi sarang berbagai vektor (pembawa) penyakit seperti nyamuk, lalat, tikus, dan sebagainya. Oleh karena itu, penanganan sampah puing hendaknya menjadi bagian yang terintegrasi dari program penanganan bencana.

Pengelolaan sampah puing dalam kondisi tanggap darurat bencana sebenarnya sama dengan pengelolaan sampah puing yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi dan renovasi bangunan perumahan, perkantoran, perindustrian, jalan, jembatan, trotoar, dan sebagainya. Bedanya, sampah puing yang diakibatkan oleh bencana biasanya jumlahnya sangat besar dan skalanya luas sehingga pengelolaannya menjadi lebih intensif dan membutuhkan peralatan berat, tenaga kerja, dan dana yang relatif banyak. Oleh karena itu pengelolaannya membutuhkan perencanaan yang matang mulai dari sistem pengumpulan, pemilahan, pengolahan dan pembuangannya.

Hal utama, pada tahap tanggap darurat, penanganan sampah puing biasanya berupa pembersihan reruntuhan bangunan yang berada di jalan untuk membuka akses masuk ke lokasi tersebut baik untuk evakuasi korban, pemberian bantuan makanan dan minuman, maupun bantuan pengobatan atau kesehatan. Dalam kondisi itu, sampah puing cukup disingkirkan dari jalanan dan ditumpuk di sekitarnya. Pada tahap selanjutnya, yakni tahap rehabilitasi, sampah puing harus dikumpulkan, diangkut, dan disingkirkan ke tempat pembuangan yang telah ditentukan. Di Indonesia, sampah puing biasanya tidak diolah tapi dibuang begitu saja di lahan terbuka atau digunakan sebagai bahan urugan.

Problem utama pada tahap pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah puing di lokasi bencana di Indonesia adalah keterbatasan sarana yang diperlukan untuk melakukannya seperti alat-alat berat berupa wheel loader, backhoe, dan dump truck. Kapasitas peralatan yang ada biasanya tidak mencukupi karena jumlahnya terbatas, banyaknya puing, skala bencana yang meliputi areal yang luas, serta rusaknya infrastruktur yang ada.

Bencana angin puting beliung Andrew yang melintasi Miami, misalnya, menghasilkan sampah puing yang jumlahnya sangat besar yaitu 40 juta ton. Untuk mengangkut sampah sebanyak itu, Miami kekurangan armada pengangkutnya sehingga akhirnya kontraktor-kontraktor swasta diberi kesempatan untuk menanganinya. Cara penanggulangannya pertama-tama, sampah puing yang menutup jalan dibersihkan terlebih dahulu dengan mengumpulkannya di area penumpukan sementara. Kegiatan selanjutnya berupa pembersihan puing bangunan dan membuangnya di TPA. Oleh karena besarnya jumlah sampah, tempat pembuangan tersebut juga tidak cukup. Untuk itu strateginya, sampah puing organik seperti barang-barang yang terbuat dari kayu terpaksa dibakar. Lubang besar digali di tanah. Sampah puing organik diberi minyak bakar secara merata dengan pengadukan menggunakan excavator lengan panjang. Dan untuk membakarnya, galian tersebut dilengkapi dengan unit pengudaraan berupa blower agar suplai udara pembakaran berlangsung baik.