Menjaga lingkungan tetap hijau dan bersih adalah tanggung jawab kita bersama.
Banyak hal dapat dilakukan. Nggak usah mikir yang muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja.
Mulai dari rumah kita, mulai dari diri kita....

Kamis, 17 Juni 2010

Kontroversi Bioaktivator Komposting

Komposting modern adalah komposting yang dilakukan secara aerobik dan terkendali. Komposting aerobik dipilih karena berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan sistem anaerobik, tidak menimbulkan bau busuk, dan memungkinkan terjadinya suhu tinggi. Di daerah temperata, komposting berlangsung secara alami selama 3 sampai 6 bulan. Namun di daerah tropik seperti di Indonesia, komposting sampah kota berlangsung lebih cepat, yaitu selama 4 sampai 6 minggu. Kecepatan tersebut mungkin disebabkan oleh faktor lingkungannya yang mendukung seperti tingkat kelembapan udaranya tinggi, suhu udaranya hangat, dan kaya akan keanekaragaman mikroba. Tingkat kecepatan proses komposting di daerah tropik cukup fenomenal. Namun demikian, dalam pandangan umum, tingkat kecepatan komposting selama 4 atau 6 minggu adalah sangat lambat. Benarkah proses komposting dapat dipercepat dengan penambahan bioaktivator? Dari penelitian dan pengalaman lapangan penulis yang mempelajari komposting sejak tahun 1995-an menyimpulkan bahwa penggunaan bioaktivator baik yang diproduksi dari luar maupun dalam negeri tidaklah berbeda secara signifikan dalam mempercepat proses komposting maupun dalam meningkatkan kualitas kompos. Dari beberapa uji coba yang dilakukan terhadap berbagai jenis bioaktivator, tidak ada satupun bioaktivator yang sesuai dengan klaimnya bahwa dapat mempercepat masa komposting dan meningkatkan kualitas komposnya. Pada tahun 2000-an keteguhan penulis pada kesimpulan tersebut membawa penulis pada suatu situasi dimana penulis harus berlawanan arus dengan perkembangan yang ada di masyarakat bahwa penggunaan bioaktivator memang benar-benar sesuai dengan klaimnya: masa komposting hanya dalam hitungan hari dan kualitas komposnya lebih baik. Situasi saat itu memang sedang gencar-gencarnya promosi berbagai jenis merek bioaktivator. Para pedagang bioaktivator begitu aktifnya keluar masuk pemkab/pemkot menawarkan dagangannya. Para konsumen tentu saja sangat tertarik memanfaatkannnya dengan harapan proses kompostingnya dapat berlangsung cepat. Sim sa la bim, jadi! Situasi tersebut membawa penulis pada hubungan mental yang kurang harmonis dengan para produsen bioaktivator. Parahnya lagi, penulis juga mesti sering beradu pendapat dengan para peneliti lain baik dari beberapa perguruan tinggi maupun lembaga penelitian lain yang ikut-ikutan latah terhadap trend memproduksi bioaktivator pada saat itu. Perdebatan kadang menjadi seperti ‘debat kusir’ tanpa akhir. Setiap penulis melakukan pelatihan atau sosialisasi teknologi komposting, penulis sering menerima pertanyaan seputar bioaktivator. Pada kesempatan itulah penulis mencoba meluruskan pemahaman yang berkembang di masyarakat. Para pelaku komposting yang mempraktekan penggunaan bioaktivator umumnya masih awam dan kurang bekal pemahaman komposting itu apa sehingga pemahaman terminologi kompos dan seluk beluknya agak menyimpang. Puncak kontroversi bioaktivator penulis alami ketika menjadi tim teknis Program Subsidi Kompos yang didanai oleh World Bank pada tahun 2004-2006. Program tersebut melibatkan 45 produsen kompos di berbagai kota di DKI Jakarta, Provinsi Banten dan Jawa Barat. Kapasitas produksi kompos masing-masing produsen berkisar antara 1 – 30 ton perhari. Pada saat itu, di sebagian anggota internal tim teknis dan sebagian besar para produsen kompos masih banyak yang menganut pendapat bahwa penggunaan bioaktivator itu sangat bermanfaat. Pertentangan menjadi semakin kencang ketika salah seorang konsultan internasional dari Filipina yang terlibat dalam program tersebut juga mendukung pernyataan bahwa bioaktivator punya pengaruh yang signifikan dalam komposting sampah kota. Belakangan diketahui, ia merupakan salah satu produsen produk bioaktivator di negaranya. Perdebatan tersebut melelahkan karena terkait dengan kredibilitas penulis sebagai peneliti independen. Namun demikian, dalam perjalanan program tersebut justru membawa hikmah yang besar. Dari pengalaman aplikasinya, para produsen kompos telah membuktikan sendiri bahwa ternyata berbagai bioaktivator yang mereka pakai tidaklah mempercepat proses komposting, apalagi meningkatkan kualitasnya. Akhirnya mereka tidak lagi menggunakannya karena hanya membebani biaya operasional komposting. Hanya para produsen kompos yang juga produsen bioaktivator yang masih mempertahankan pemakaiannya. Sejak saat itu, perdebatan tentang manfaat bioaktivator redam dengan sendirinya. Para produsen kompos, melalui pengalaman lapangannya, teryakinkan sendiri. Komposting yang mereka lakukan tidak lagi menggunakan bioaktivator. Pembuktian lapangan mereka telah mengkandaskan mitos tentang bioaktivator.

Tidak ada komentar: