Gerakan Masyarakat Mendaur Ulang Sampah dan Komposting Menuju Kota yang Bersih dan Hijau
Menjaga lingkungan tetap hijau dan bersih adalah tanggung jawab kita bersama.
Banyak hal dapat dilakukan. Nggak usah mikir yang muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja.
Mulai dari rumah kita, mulai dari diri kita....
Banyak hal dapat dilakukan. Nggak usah mikir yang muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja.
Mulai dari rumah kita, mulai dari diri kita....
Kamis, 17 Juni 2010
Mengapa Tidak Perlu Bioaktivator?
Dari pendapat para pakar kompos dan riset serta aplikasi komposting yang selama ini penulis lakukan di berbagai kota di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa penambahan bioaktivator tidak mempercepat proses komposting dan mutu produk kompos secara signifikan. Penambahan bioaktivator hanya akan meningkatkan biaya operasional komposting.
Kunci utama dari proses komposting bukan pada penambahan bioaktivator, tetapi pada optimalisasi pengendali proses komposting seperti kelembapan, aerasi, , rasio C/N, dan sebagainya.
Sampah organik yang dikomposkan umumnya mengandung sejumlah besar populasi dan berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, dan makhluk hidup lainnya. Sampah juga mengandung seluruh jenis makro dan mikronutrien yang dibutuhkan oleh mikroba sehingga memungkinkan komposting dapat berlangsung. Jadi dari sisi ketersediaan mikroba dan nutrisi (yang diperlukan oleh mikroba yang hidup dalam proses kompoting) di dalam sampah sudah lebih dari cukup.
Kalau ingin mencapai proses komposting yang optimal yang perlu dilakukan adalah pengendalian faktor-faktor lingkungan. Jika kondisinya terkontrol, maka laju pertumbuhan mikroba yang terdapat di dalam sampah (native microbe) akan berlangsung secara eksponensial dan cepat sehingga jumlahnya meningkat tajam dan akibatnya kecepatan metabolisma atau penguraian sampah juga meningkat.
Dalam prakteknya, untuk komposting sampah kota dengan jenis materi organik yang kaya akan nutrisi, minimal harus dikendalikan dua faktor lingkungan, yaitu:
• Kelembapan, dan
• Aerasi.
Pengendalian kelembapan dilakukan dengan penyiraman air. Penyiraman dilakukan apabila materi yang dikomposkan terlalu kering. Akan tetapi apabila materi yang dikomposkan sudah relatif basah, penyiraman tidak diperlukan lagi. Kelembapan yang diinginkan sekitar 40 – 60% agar mikroorganisma earobik berkembang biak. Keberadaan air sangat diperlukan untuk mendukung proses reaksi biokimia dalam penguraian sampah.
Akan tetapi kelembapannya tidak boleh terlalu tinggi karena dalam kondisi tersebut dominasi mikroorganisma aerobik akan diambil alih oleh mikroorganisma anaerobik. Prosesnya berubah menjadi proses aerobik yang dicirikan dengan timbulnya bau busuk dan proses penguraian yang lebih lama.
Sementara itu, pengendalian aerasi dilakukan dengan pemberian udara atau pembalikan tumpukan materi yang dikomposkan. Pembalikan akan memperbaiki porositas udara di dalam tumpukan, homogenisasi yang dikomposkan, dan distribusi materi agar terekspos temperatur tinggi.
Proses aerasi yang murah dilakukan secara alamiah dengan cara pengadukan dan bila diperlukan di dalam tumpukan materi yang sedang dikomposkan dipasang terowongan angin atau pipa yang berlubang-lubang. Aerasi yang baik sangat penting bagi keberlangsungan proses komposting karena mikroorganisma aerobik memerlukan udara untuk menguraikan sampah.
Khusus untuk komposting sampah kota, faktor lingkungan lain yang berpengaruh terhadap proses komposting seperti rasio C/N, pH (keasaman), ukuran materi, temperatur, dan sebagainya tidaklah perlu dirisaukan karena faktor-faktor tersebut umumnya sudah mencukupi untuk persyaratan proses komposting.
Sehubungan dengan proses komposting, hal penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sebagian besar bioaktivator yang diperdagangkan secara komersil dalam penggunaanya mensyaratkan batas maksimal suhu yang tidak boleh dilanggar, misalnya suhu 50oC. Kalau batas maksimal suhu tersebut dilanggar maka bioaktivator akan mati. Padahal pencapaian suhu tinggi amat diperlukan dalam rangka mendapatkan produk kompos yang bebas dari bibit penyakit dan bibit gulma.
Di Amerika, Eropa dan Australia terdapat regulasi yang mensyaratkan adanya tingkat minimal suhu yang harus dicapai selama proses komposting dan lamanya waktu pengeksposan terhadap suhu tersebut sehingga patogen di dalam limbah dapat direduksi atau dibasmi. Regulasi sistem komposting yang aman dari patogen di AS dituangkan dalam regulasi yang dikenal dengan istilah Processes to Further Reduce Pathogens (PFRPs).
Untuk komposting aerobik di dalam reaktor tertutup atau sistem tumpukan statik yang teraerasi, minimal suhu yang harus dicapai adalah 55oC dan dijaga keberlangsungannya selama tiga hari berturut-turut. Sedangkan untuk sistem windrow seperti yang banyak dipraktekan di dunia termasuk Indonesia, suhu minimal yang harus dicapai adalah sama, hanya saja waktunya harus lebih lama, yaitu 15 hari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar