Secara umum pengelolaan sampah puing, terutama di negara-negara maju, ada tiga yaitu (i) reuse, (ii) recovery dan recycling, dan (iii) landfilling. Reuse yaitu memanfaatkan kembali material-material yang masih bisa diperbaiki sesuai dengan fungsinya, misalnya barang-barang furniture. Recovery adalah usaha untuk mendapatkan material-material yang berharga dari suatu barang atau benda, misalnya rangka baja pada puing bangunan. Material yang berhasil di-recovery merupakan bahan baku kegiatan daur ulang (recycling). Sedangkan pengertian landfilling adalah pembuangan puing di tempat yang telah ditentukan.
Peluang daur ulang sampah puing tergantung dari market masing-masing komponen dan kemampuan teknis dalam memisahkan dan memproses komponen tersebut. Sampah puing antara lain terdiri atas pasir, batu, beton, perkakas kayu, batu-bata, pecahan kaca, material plastik, asbes, genteng, pipa air, komponen elektrik, aspal, dan logam atau rangka baja. Bahan-bahan utama yang di-recovery untuk didaurulang umumnya adalah beton, kayu, aspal, dan logam.
Dalam fasilitas recovery dan daur ulang puing seperti di Australia, AS, dan Eropa, setelah puing berbahan dasar kayu dipisahkan, sampah puing dibawa dengan front-end loader dimasukan ke pengayak getar sistem dua tahap (two satges vibrating screen). Pengayak pertama digunakan untuk memisahkan puing-puing berukuran besar seperti beton, akar dan materi serupa lainnya. Pengayak kedua terletak dibawah pengayak pertama, digunakan untuk memisahkan material yang lebih halus dari pecahan beton dan kontaminan berukuran kecil lainnya. Material yang halus akan lolos melewati kedua ayakan tersebut untuk kemudian dibawa dengan konveyor ke pengayak getar kedua, di mana kontaminan dipisahkan. Produk akhirnya relatif bebas dari debu, kemudian ditumpuk untuk dijual.
Puing-puing beton yang berasal dari reruntuhan jalan, jembatan, dan fondasi bangunan, dapat dihancurkan untuk kemudian diayak sesuai dengan keperluan. Hasil ayakan berupa material-material yang kecil dapat digunakan sebagai agregate bangunan baru atau sebagai bantalan jalan. Sedangkan material yang agak besar dapat digunakan sebagai koral di tepi jalan atau dam. Material yang mengandung logam besi seperti bolt atau rangka beton dipisahkan tersendiri.
Sementara itu, puing-puing kayu dapat berupa triplek, particle board, papan kayu, rangka kayu, dsb. Puing yang biasanya diolah adalah kayu yang “bersih” karena produk olahannya umumnya digunakan untuk mulsa atau untuk bahan bakar boiler. Di fasilitas daurulang, sampah puing dibawa ke tempat terbuka, kemudian diratakan, dan material kayunya dipisahkan secara manual. Sampah kayu tersebut kemudian dihancurkan dengan wood grinder menjadi serpihan-serpihan kecil (wood chips), lantas diayak dengan trommel screener. Logam-logam seperti paku kemudian dipisahkan dengan magnetic separator. Serpihan kayu yang dihasilkan dari penghancuran tersebut dapat digunakan untuk mulsa lanskap, bedding ternak, bahan kompos, bahan bakar boiler, particle board, dan penutup landfill.
Puing-puing berbahan baku aspal dapat dihancurkan dengan hammermill untuk kemudian diayak. Umumnya puing aspal berasal dari kegiatan renovasi jalan dan trotoar. Material bekas bongkaran aspal tersbut dapat digunakan sebagai bantalan konstruksi jalan, atau digunakan kembali untuk membangun trotoar baru (sebagai material campuran 10-15 persen). Sementara itu, logam yang biasa digunakan untuk penguat bangunan atau sebagai keperluan lainnya dapat dipisahkan sesuai dengan jenisnya (besi, akumunium, tembaga, dsb.) secara manual atau dengan magnetic separator. Hasilnya dapat dijual ke industri daurulang. Pada tahun 1996 diperkirakan 20-30 persen sampah puing telah didaurulang di AS (US EPA, 1996). Diperkirakan pada tahun 2002 di AS berdiri fasilitas recovery dan daur ulang sampah puing lebih dari 3500 buah (Brichner, 1997).
Contoh kegiatan recovery terhadap sampah puing yang fenomenal adalah pemanfaatan sampah puing yang berasal dari reruntuhan Gedung World Trade Center di New York City, korban pengeboman teroris pada tanggal 11 September 2001. Puing-puing beton, yang berjumlah sekitar 1,6 juta ton sengaja dihancurkan menjadi serpihan-serpihan kecil sebagai material yang dapat dipergunakan lagi untuk berbagai keperluan seperti campuran cor beton, bantalan jalan, dsb. Sementara itu rongsokan besi, baja dan logam lainnya di ambil untuk dijual di pabrik pengecoran logam.
Namun tidak semua material puing sempat didaurulang dan tidak semua material dapat didaurulang. Seperti halnya sampah yang lain, material-material puing yang tidak termanfaatkan lagi ujung-ujungnya dibuang di TPA (landfilling). Bagi negara industri, TPA untuk puing biasanya dibedakan dengan TPA sampah kota. Hal itu sengaja dilakukan karena instalasi dan operasional TPA puing lebih longgar spesifikasinya sehingga tipping fee-nya relatif murah dibanding TPA sanitary landfill untuk sampah kota. Pada tahun 2002, di AS diperkirakan 35-45 persen sampah puing dibuang di TPA yang khusus diperuntukkan untuknya, sedangkan 20-40 persen yang lainnya dibuang di TPA sanitary landfill bersama sampah kota.
Dalam tahun 1996, diperkirakan AS memproduksi sampah puing sebanyak 136 juta ton atau sekitar 2,8 lb perkapita (US EPA, 1996). Dari sampah puing yang diproduksi, 57 persen berasal dari pemukiman dan 57 persen dari non-pemukiman. Dari penghancuran gedung dihasilkan 48 persen, renovasi 44 persen, dan dari konstruksi 9 persen dari total sampah puing.
Menurut Tchobanoglous (2002), sampah puing di AS persentasenya dalam sampah kota diestimasikan antara 8-20 persen. Biasanya komposisi sampah puing terdiri atas 40-50 persen rubbish (beton, aspal, batu-bata, blok, dan debu berpasir), 20-30 persen kayu dan produk-produknya (pallet, stump, cabang, forming and framing lumber, treated lumber, and shingles), dan 20-30 persen sampah lain (lumber yang dicat atau terkontaminasi, metal, produk berbahan tar, plaster, kaca, white good, asbestos, material insulasi, plumbing, pemanas dan komponen elektrik).
Di dalam TPA sanitary landfill, meskipun sampah puing itu sifatnya inert (tidak mudah terdekomposisi), proses dekomposisi dapat timbul ketika sampah puing bercampur dengan sampah kota. Sebagai contoh, particle board yang terbuat dari gipsum tidak secara total inert, tetapi ikut terurai secara anaerobik ketika dalam kondisi lembab menghasilkan gas hidrogen sulfida. Oleh karena itu, beberapa kota di AS memiliki aturan bahwa particle board harus dibuang secara terpisah dalam kantong yang tertutup. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa walaupun materi puing organik di dalam sampah adalah inert, dalam kondisi kelembaban 16 persen aktivitas penguraian secara biologis akan terjadi, yang mungkin saja akan menghasilkan lindi yang dapat mencemari air tanah.
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa pengelolaan sampah puing tidak hanya kegiatan pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan saja, tetapi juga perlu diperhatikan kemungkinan kegiatan reuse, recovery, dan daurulangnya. Kegiatan pengelolaan sampah puing, terutama yang diterapkan oleh beberapa negara maju seperti AS, barangkali dapat diambil sebagai pelajaran bagi seluruh stakeholder yang terkait dengan penanganan wilayah pasca bencana. Tentu saja sistem yang hendak diadopsi harus disesuaikan dahulu dengan situsai dan kondisi lokal sehingga pengelolaannya dapat berjalan efektif dan aman terhadap lingkungan. Pada level dasar, sistem pengelolaan sampah puing harus diintegrasikan dengan rencana pembangunan di bidang pengelolaan sampah kota pada umumnya. Sedangkan pada level di atasnya, pengelolaan sampah kota hendaknya menjadi bagian yang setara dengan kegiatan rehabilitasi struktur dan infrastruktur lainnya sehingga nantinya dapat dihindari petaka-petaka yang berasal dari pengelolaan sampah itu sendiri, seperti petaka TPA longsor, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.
1 komentar:
saya mau nanya, kalau pihak yang menangani masalh sampah ini kira2 siapa ya? apa langkah awal yang harus kita lalukan untuk ikut berkecimpung di dunia bisnis sampah ini?
apakah ada company di indonesia yang telah mampu menghandle sampah2 yang ada di indonesia ini? makasih...
Posting Komentar