Bencana alam seperti banjir, angin puting beliung, gempa bumi, dan tsunami bukan hanya menyisakan kesedihan yang mendalam karena mengakibatkan meninggalnya orang-orang yang dicintai dan rusaknya sarana kehidupan, tetapi juga menyisakan puing-puing reruntuhan konstruksi bangunan dalam jumlah yang besar. Puing-puing bangunan, seperti yang berasal dari bangunan rumah, pertokoan, hotel, jembatan, dan sebagainya yang hancur akibat bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Aceh dan Nias, sangat menyulitkan kegiatan evakuasi korban bencana, kegiatan tanggap darurat, dan rehabilitasi pasca bencana. Di samping itu, jika tidak segera tertangani, reruntuhan puing bangunan dapat menjadi sarang berbagai vektor (pembawa) penyakit seperti nyamuk, lalat, tikus, dan sebagainya. Oleh karena itu, penanganan sampah puing hendaknya menjadi bagian yang terintegrasi dari program penanganan bencana.
Pengelolaan sampah puing dalam kondisi tanggap darurat bencana sebenarnya sama dengan pengelolaan sampah puing yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi dan renovasi bangunan perumahan, perkantoran, perindustrian, jalan, jembatan, trotoar, dan sebagainya. Bedanya, sampah puing yang diakibatkan oleh bencana biasanya jumlahnya sangat besar dan skalanya luas sehingga pengelolaannya menjadi lebih intensif dan membutuhkan peralatan berat, tenaga kerja, dan dana yang relatif banyak. Oleh karena itu pengelolaannya membutuhkan perencanaan yang matang mulai dari sistem pengumpulan, pemilahan, pengolahan dan pembuangannya.
Hal utama, pada tahap tanggap darurat, penanganan sampah puing biasanya berupa pembersihan reruntuhan bangunan yang berada di jalan untuk membuka akses masuk ke lokasi tersebut baik untuk evakuasi korban, pemberian bantuan makanan dan minuman, maupun bantuan pengobatan atau kesehatan. Dalam kondisi itu, sampah puing cukup disingkirkan dari jalanan dan ditumpuk di sekitarnya. Pada tahap selanjutnya, yakni tahap rehabilitasi, sampah puing harus dikumpulkan, diangkut, dan disingkirkan ke tempat pembuangan yang telah ditentukan. Di Indonesia, sampah puing biasanya tidak diolah tapi dibuang begitu saja di lahan terbuka atau digunakan sebagai bahan urugan.
Problem utama pada tahap pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah puing di lokasi bencana di Indonesia adalah keterbatasan sarana yang diperlukan untuk melakukannya seperti alat-alat berat berupa wheel loader, backhoe, dan dump truck. Kapasitas peralatan yang ada biasanya tidak mencukupi karena jumlahnya terbatas, banyaknya puing, skala bencana yang meliputi areal yang luas, serta rusaknya infrastruktur yang ada.
Bencana angin puting beliung Andrew yang melintasi Miami, misalnya, menghasilkan sampah puing yang jumlahnya sangat besar yaitu 40 juta ton. Untuk mengangkut sampah sebanyak itu, Miami kekurangan armada pengangkutnya sehingga akhirnya kontraktor-kontraktor swasta diberi kesempatan untuk menanganinya. Cara penanggulangannya pertama-tama, sampah puing yang menutup jalan dibersihkan terlebih dahulu dengan mengumpulkannya di area penumpukan sementara. Kegiatan selanjutnya berupa pembersihan puing bangunan dan membuangnya di TPA. Oleh karena besarnya jumlah sampah, tempat pembuangan tersebut juga tidak cukup. Untuk itu strateginya, sampah puing organik seperti barang-barang yang terbuat dari kayu terpaksa dibakar. Lubang besar digali di tanah. Sampah puing organik diberi minyak bakar secara merata dengan pengadukan menggunakan excavator lengan panjang. Dan untuk membakarnya, galian tersebut dilengkapi dengan unit pengudaraan berupa blower agar suplai udara pembakaran berlangsung baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar