Pemusnahan ataupun pendaurulangan menyeluruh rongsokan elektronik memang boleh dikatakan tersendat-sendat dan menemui jalan buntu, padahal laju produksi sampah elektronik terus membumbung tinggi. Laju produksi sampah elektronik naik karena sebagian besar produk elektronik, seperti komputer, mempunyai masa pakai yang semakin pendek karena produsen hardware dan sofware secara konstan menciptakan program-program baru untuk memenuhi kebutuhan akan proses data yang lebih cepat dan memori yang lebih besar. Dalam tahun 1997, masa pakai rata-rata CPU komputer antara 4 sampai 6 trahun dan monitor 6 sampai 7 tahun. Sementara itu pada tahun 2005 ini masa pakainya menjadi sekitar 2 tahun (US EPA, 1998). Selain itu, saat ini, harga komputer relatif semakin murah sehingga lebih nyaman membeli komputer generasi baru daripada meng-upgrade yang lama.
Sebuah studi di AS mengetengahkan bahwa pada tahun 2004 yang lalu terdapat sekitar 315 juta komputer yang tidak terpakai lagi alias menjadi sampah. Nasib akhir dari rongsokan tersebut adalah ditumpuk di gudang, dibuang di TPA, dibakar di insinerator, atau diekspor ke negara lain. Hanya sekitar 6 persen yang didaurulang. Di Indonesia, sejauh ini belum ada data seberapa banyak sampah elektronik yang diproduksinya, tapi diperkirakan produksinya akan terus meningkat seiring dengan kemajuan jaman.
Salah satu usaha untuk meminimalisir sampah elektronik adalah dengan menerapkan program extended producer responsibility (EPR), suatu program di mana produser bertanggungjawab mengambil kembali (take back) produk-produk yang tidak terpakai lagi. Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produser meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumberdaya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses. Produser harus bertanggungjawab terhadap semua hal termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar