Menjaga lingkungan tetap hijau dan bersih adalah tanggung jawab kita bersama.
Banyak hal dapat dilakukan. Nggak usah mikir yang muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja.
Mulai dari rumah kita, mulai dari diri kita....

Senin, 05 Juli 2010

Sampah Elektronik: Didaur Ulang atau Dibuang ke Negara Berkembang?

Usaha untuk mendaurulang sampah elektronik menghadapi masalah karena dalam prosesnya sulit dan beresiko tinggi terhadap para pekerja, serta menghasilkan produk-produk sekunder yang beracun. Sebagai contoh, proses extruding dalam kegiatan daur ulang plastik dari sampah elektronik dan proses recovery logam menghasilkan PBDE, dioksin, dan furan. Di Swedia contohnya, para pekerja yang bekerja di fasilitas daur ulang sampah elektronik, setiap harinya terekspos PBDE yang lepas ke udara sehingga darahnya mengandung PBDE tujuh puluh kali lipat dibandingkan dengan para medis di rumah sakit.

Pembakaran sampah elektronik di insinerator juga sangat berbahaya karena menghasilkan dioksin dan logam berat. Senyawa polyvinylchloride (PVC), biasanya terdapat di kabel dan body barang elektronik, ketika dibakar akan membentuk polychlorinated dibenzodioxins (dioksin) dan polychlorinated dibenzofurans (furan), suatu senyawa yang bersifat persisten, terakumulasi secara biologis, dan bersifat karsinogen.

Selain itu dioksin juga mengganggu sistim hormon, mempengaruhi pertumbuhan janin, menurunkan kapasitas reproduksi, dan sistim kekebalan tubuh. Diketahui pula bahwa slag, fly ash, flue gas dan filter cake yang dihasilkan dari pembakaran sampah elektronik mengandung logam berat yang tinggi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika insinerator sampah, seperti yang berada di Kanada dan AS, menjadi sumber utama pencemaran dioksin dan logam berat di udara.

Mengingat resiko dan sulitnya mendaurulang sampah elektronik, beberapa negara maju membuang barang elektronik yang sudah ‘kedaluwarsa’ sebelum jadi sampah, seperti komputer, ke negara sedang berkembang atas nama barang elektronik second. Bagi negara pengimpor untuk sementara memang diuntungkan dengan barang elektronik harga murah meriah, tapi dalam jangka panjang harus menanggung beban pencemaran lingkungan B3 dari komponen-komponen rongsokan elektronik. Sedangkan bagi negara pengekspor mendapatkan keuntungan lingkungan terbebas dari B3 dan penghematan anggaran dimana biaya ekpor bisa lebih murah 10 kali lipat daripada untuk mendaurulangnya.

Ekspor produk elektronik atau limbah B3 dari negara maju ke negara-negara sedang berkembang tentu saja sangat memprihatinkan sehingga pada tahun 1989 masyarakat dunia menyusun Konvensi Basel tentang Transboundary Movement of Hazardous Waste for Final Disposal untuk menghentikan negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) membuang limbah B3 lintas negara. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 melalui Keppres No. 61/1993 dalam rangka mencegah masuknya limbah B3 karena Indonesia juga merupakan salah satu sasaran pembuangan limbah B3. Saat ini negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel berjumlah 164 negara.

Pertemuan para pihak Konvensi Basel, bulan Maret 1994, telah melarang semua ekspor limbah B3 untuk pembuangan akhir dari negara industri ke negara non-OECD. Para pihak juga memutuskan melarang semua ekspor limbah B3 untuk keperluan daur ulang dan reklamasi, termasuk untuk bahan baku, mulai 31 Desember 1997. Namun demikian, kegiatan ekspor-impor limbah B3 termasuk sampah elektonik terus berlanjut. Berbagai lobi ekspor-impor komputer second tetap dilakukan oleh AS, misalnya, terhadap beberapa negara seperti Cina dan Taiwan. Hal itu tentu saja bertentangan dengan Konvensi Basel dan mengundang reaksi keras para aktivis lingkungan dunia.

Tidak ada komentar: