Di abad informasi ini, barang-barang elektronik seperti komputer, telepon genggam, tape recorder, VCD player, dan televisi bukanlah benda yang asing lagi bagi kita. Barang-barang elektronik tersebut bukan hanya akrab di kalangan penduduk kota akan tetapi juga telah dikenal dengan baik oleh masyarakat yang tinggal di pelosok desa sekalipun. Dan bahkan bagi sebagian orang, barang tersebut merupakan kebutuhan vital yang harus terpenuhi seperti layaknya sembako. Kebutuhan akan layanan informasi dan pengolahan data telah menempatkan barang-barang elektronik menjadi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, seperti layaknya barang-barang lainnya, setelah masa tertentu, produk-produk elektronik itu tentu saja menjadi benda yang tidak dipakai lagi karena sudah ada penggantinya dalam versi terbaru atau karena rusak. Jika sudah demikian, jadilah barang-barang tersebut menjadi rongsokan elektronik atau sampah yang biasanya mengokupasi sudut-sudut ruang kerja dan gudang di rumah atau kantor kita. Kita kadangkala mengalami kesulitan untuk membuangnya, karena tidak semua tukang servis atau pemulung mau menerima rongsokan yang sudah kedaluwarsa dan tidak ada lagi pasarnya.
Tahukah Anda status sampah dari rongsokan elektronik dan tingkat bahayanya? Rongsokan atau sampah elektronik mengandung sekitar 1000 material, sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) karena merupakan unsur berbahaya dan beracun seperti logam berat (merkuri, timbal, chromiun, kadmium, arsenik, dsb.), PVC, dan brominated flame-retardants. Merujuk PP Nomor 18 Tahun 1990 jo PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, maka limbah tersebut tergolong limbah B3 berkarakter racun.
Seperi layaknya limbah B3 lainnya, sampah elektronik menimbulkan masalah ketika dibuang, dibakar, atau didaurulang. Ketika dibuang di TPA, sampah elektronik menghasilkan lindi yang mengandung berbagai macam logam berat terutama merkuri, timbal, chromiun, kadmium dan senyawa berbahaya seperti polybrominated diphennylethers (PBDE).
Logam merkuri dikenal dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf otak, serta menyebabkan cacat bawaan seperti yang terjadi pada kasus Teluk Minamata, Jepang. Sedangkan timbal, selain dapat merusak sistem saraf, juga dapat mengganggu sistem peredaran darah, ginjal, dan perkembangan otak anak. Timbal dapat terakumulasi di lingkungan dan dapat meracuni tanaman, hewan, dan mikkroorganisma.
Sementara itu, chromium dapat dengan mudah terabsorpsi ke dalam sel sehingga mengakibatkan berbagai efek racun, alergi, dan kerusakan DNA. Lantas kadmium adalah logam beracun yang efeknya tidak dapat balik bagi kesehatan manusia. Kadmium masuk ke dalam tubuh melalui respirasi dan makanan dan kemudian merusak ginjal.
Sementara itu, senyawa PBDE merupakan salah satu jenis brominated flame-retardants, suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi tingkat panas (flammability) pada bagian produk elektronik seperti PCB, komponen konektor, kabel, dan plastik penutup TV atau komputer. Ekspos terhadap PBDE diduga dapat merusak sistem endokrin dan mereduksi level hormon tiroksin di hewan mamalia dan manusia sehingga perkembangan tubuhnya menjadi terganggu.
Jenis lain dari brominated flame-retardants adalah polybrominated biphennyls (PBB). Sekali PBB terlepas ke lingkungan, senyawa tersebut dapat masuk ke dalam rantai makanan dan terakumulasi di dalam jaringan makhluk hidup. Seperti halnya ikan-ikan yang hidup di beberapa wilayah Perairan Artik (AS), terdeteksi mengandung PBB yang diduga berasal dari lindi (leachate) tumpukan sampah elektronik. Satwa burung dan mamalia, seperti anjing laut yang mengkonsumsi ikan di perairan tersebut pada akhirnya juga mengandung PBB dalam kadar yang cukup tinggi.
Sementara itu, sebuah laporan riset yang dipublikasikan pada tahun 1998 yang menyelidiki insiden tercampurnya PBB ke dalam pakan sapi di Michigan (AS) pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa ekspos terhadap PBB berlanjut dari sapi yang mengkonsumsi pakan tersebut ke sembilan juta warga yang mengkonsumsi daging sapi itu. Disebutkan, manusia yang mengkonsumsinya menghadapi resiko 23 kali lebih tinggi terserang kanker saluran pencernaan seperti kanker lambung, pankreas, liver, dan limfa.
Oleh karena itu pembuangan limbah B3 tidak boleh asal timbun, tetapi harus pada timbunan limbah B3 kategori I sesuai Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep-04/Bapedal/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan Limbah B3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar