Di kota dataran tinggi berhawa sejuk, Tembagapura, ada sebuah keluarga yang sungguh kepeduliannya terhadap lingkungannya patut ditiru. Dia adalah Ibu Iin bersama suaminya yang berkewarganegaraan Swiss. Selama tinggal di kota tambang tersebut, Beliau dan suaminya secara mandiri mempraktekan gaya hidup yang lain dari yang lainnya.
Di samping kesibukan kesehariannya sebagai sukarelawan mendidik anak-anak dari Suku Amungme, Bu Iin berusaha memanfaatkan barang-barang yang sudah dianggap tidak berguna lagi. Sampah organik yang berasal dari dapur dan halaman rumah disulap menjadi pupuk organik dengan teknik vermikomposting. Dengan menggunakan wadah-wadah bekas dan kayu bekas yang berasal dari keluarga yang pindah ke kota lain, cacing dibudidayakan untuk menggemburkan media tanah yang kurang subur.
Casting atau kompos yang berasal dari vermikomposting dimanfaatkan untuk media tanam sayuran yang ditanam di dalam pot di emperan rumah seperti seledri, sawi, dan sebagainya. Sayur-sayuran di Tembagapura merupakan barang langka yang ’diimpor’ dari wilayah atau negara lain sehingga harganya mahal. Dengan menanam sayuran sendiri, sebagian kebutuhan sayur terpenuhi dan lingkungan rumahnya menjadi lebih hijau.
Bu Iin juga tidak segan-segan mengumpulkan sampah lainnya untuk didaur ulang. Setiap beliau ke Jakarta bersama suaminya ketika cuti, tidak lupa membawa sampah plastik kemasan yang kemudian dikirim ke suatu daerah di Jawa Timur. Oleh ibu-ibu janda yang bermukim di sana sampah-sampah plastik yang dikoleksi Bu Iin kemudian disulap menjadi kerajinan tas. Lantas produk tas tersebut, pemasarannya dibantu oleh Bu Iin. Sebagian dipasarkan di Kota Tembagapura.
Bagi Bu Iin dan suaminya, kegiatan ini merupakan gaya hidup sebagai tanggung jawab terhadap kelestarian alam. Hal ini dapat menjadi contoh para Kader Lingkungan di Kota Tembagapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar