Hari ini (22/12) adalah hari istimewa bagi Ibu. Menurut definisi, Ibu adalah perempuan yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anaknya menjadi anak baik. Ibu dalam arti luas juga bermakna sama, sesuatu yang mencurahkan rasa cintanya pada ‘anak-anak’-nya.
Tanpa Ibu, dunia pasti akan sepi. Tidak ada jiwa yang memberi semangat dan kehangatan. Demikian pula pada dunia pengelolaan sampah berbasis masyarakat, tanpa peran Ibu, itu omong kosong belaka...
Basis pengelolaan sampah di masyarakat adalah Ibu. Mereka jugalah yang jadi motivator dan tokoh kuncinya. Mau bukti? Mungkin Anda kenal Ibu Bambang Wahono (dari Banjarsari – Jakarta Selatan) atau Ibu Ninik Nuryanto (dari Rawajati-Jakarta Selatan) atau Ibu Moerniati Djamaludin (dari Lebakbulus-Jakarta Selatan) atau Ibu Bebassari (dari BPPT)?
Saya beruntung mengenal mereka dari dekat. Saya banyak bimbingan dari mereka. Mereka adalah Ibu bagi saya. Saya banyak belajar dari mereka.
Ibu Bambang Wahono adalah seorang Ibu yang pertama kali, di Indonesia, membuktikan bahwa pengelolaan sampah di tingkat RT/RW dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Diusianya yang sepuh (70 tahun), Ibu Bambang mengabdikan dirinya dengan memberi teladan dan tak bosan-bosannya memotivasi para tetangga di sekitarnya untuk melakukan gerakan 3R dan penghijauan lingkungan. Pahit getir mengajak masyarakat mengelola sampah beliau rasakan. Akhirnya, usaha kerasnya berhasil mengubah kampung yang tadinya gersang menjadi kampung yang bersih dan hijau. Ibu Bambang berhasil membawa Kampung Banjarsari menjadi contoh bagi tempat-tempat lainnya di Indonesia...
Ibu Ninik Nuryanto, dari Kampung Rawajati, adalah generasi kedua setelah Ibu Bambang Wahono. Dan tentu saja lebih lincah dan gesit. Istimewanya, selain dapat memotivasi ibu-ibu di lingkungannya juga dapat memotivasi papak-bapak untuk bersama-sama mengelola sampahnya secara mandiri dan menghijaukan lingkungannya dengan berbagai tanaman obat dan hias. Maka tidak mengherankan, dalam waktu satu tahun lingkungannya berubah menjadi lingkungan yang hijau dan asri serta bersih. Berbagai penghargaan lingkungan telah diterima oleh Kampung Rawajati yang kemudian dinobatkan sebagai Kampung Agrowisata. Ibu Ninik adalah motivator ulung...
Ibu Moerniati bersama suaminya (Bapak Djamaludin—mantan menteri kehutanan) di usia pensiunnya, mengabdikan dirinya sebagai motivator dan trainer komposting sampah rumah tangga. Di samping rumahnya, lahan tidur disulap menjadi kebun yang dijadikan sebagai pusat pendidikan lingkungan dan komposting. Di kebun tersebut terdapat berbagai jenis komposter yang digunakan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos dan sekaligus sebagai percontohan bagi yang mau belajar mengolah sampah. Banyak sudah orang yang belajar di sana, mulai dari anak-anak TK sampai mahasiswa, tua-muda, tokoh-tokoh masyarakat, dsb. Biasanya kalau saya punya tamu yang ingin tahu berbagai cara komposting sampah rumah tangga, saya bawa singgah ke tempat Ibu Moerniati...
Ibu Bebassari, siapa yang tak kenal Beliau. Orang-orang menyebutnya sebagai Ratu Sampah. Beliau adalah orang yang pertama kali ‘meneliti’ dan terjun di dunia persampahan sejak tahun 80-an, saat di mana sampah belum populer. Pengalamannya yang cukup panjang membawanya sebagai pakar persampahan yang bicaranya tanpa tedeng aling-aling. Banyak sudah para pejabat yang kena kritik tajam dan kadang sampai memerah telinganya. Namun, bicaranya penuh keikhlasan dalam rangka perbaikan pengelolaan sampah di Indonesia. Bila para petinggi saja kena ‘semprot’, apalagi saya, seringlah, tidak terhitung. Namun banyak sekali pelajaran yang Beliau ajarkan pada saya...
Sesungguhnya masih banyak Ibu yang lain selain mereka yang menjadi inspirasi saya ketika saya terjun di dunia persampahan, seperti Ibu Warso (dari Cempaka Putih-Jakarta Pusat), Ibu Lala Gozali (dari Bekasi), Ibu Krisnayadi (dari Puspiptek-Serpong), dan lain-lain. Mereka adalah Ibu-ibu tegar.
Selamat berjuang Ibu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar