Pada umumnya bahan baku POG terdiri dari dua bagian, yaitu bahan baku utama dan bahan baku tambahan atau pengisi yang biasa disebut dengan filler. Disebut bahan baku utama karena jumlahnya yang mendominasi dari keseluruhan bahan baku yaitu berkisar 80-90 %. Sedangkan filler yang umumnya terdiri dari dolomit, fosfat alam, kapur dan zeolit, jumlahnya hanya berkisar 10-20 %.
Para produsen POG di Jawa, umumnya menggunakan bahan baku utama yang memiliki sifat sudah lapuk, halus dan kering, yang biasanya dipasok oleh perusahaan lain (mitra perusahaan). Dengan bahan baku yang seperti itu, maka produsen POG umumnya tidak melakukan proses pengomposan lagi dan langsung menggunakannya menjadi POG, dengan terlebih dahulu menambahkan dengan filler yang disukai.
Bahan-bahan tersebut adalah : kotoran hewan (terutama sapi dan ayam), blotong (limbah pabrik gula), jerami bekas media budidaya jamur, cocopeat, limbah industri coklat, limbah pabrik penyedap masakan, limbah daun tembakau dan lain-lain.
Bahan baku utama yang selalu dipakai oleh pabrik POG adalah kotoran hewan (kohe). Kemudian bahan baku utama kedua, yaitu sekitar 75 % pabrik POG menggunakan adalah blotong.
Kedua bahan baku tersebut diminati karena bentuknya sudah halus, mudah diperoleh dan dapat diproses langsung menjadi POG. Urutan berikutnya adalah limbah jerami bekas media budidaya jamur yang dipakai oleh sekitar 40 % pabrik POG. Sedangkan bahan baku yang lain, umumnya digunakan dalam jumlah sedikit dan biasanya bersifat temporer.
Secara ilmiah telah dinyatakan bahwa hampir semua bahan organik dapat dijadikan kompos. Sedangkan kompos merupakan bahan baku yang baik untuk dijadikan POG. Namun pada proses pembuatan POG, jenis bahan organik yang digunakan sangat terbatas dan belum mengoptimalkan seluruh potensi bahan organik yang ada.
Penyebab utamanya adalah karena umumnya pabrik POG memproduksi POG dalam rangka memenuhi kontrak dengan perusahaan yang ditunjuk oleh Kementerian Pertanian. Dalam proses produksi untuk memenuhi kontrak tersebut, biasanya waktu yang disediakan sangat singkat, sehingga sulit bagi pabrik POG untuk melakukan proses yang lain, selain langsung melakukan pembuatan POG dari bahan organik yang telah siap pakai menurut versi pihak pabrik POG.
Selain itu, kegiatan proses pengomposan dianggap sebagai penambahan biaya produksi. Proses pengomposan terhadap bahan-bahan organik yang lain akan menjadi pilihan dikemudian hari, apabila bahan-bahan yang sekarang menjadi pilihan utama, menjadi terbatas jumlahnya atau harganya menjadi lebih mahal.
Dengan menggunakan bahan baku secara langsung dari pemasok yang telah ditentukan, sebenarnya pihak pabrik POG agak sulit mengontrol kualitas bahan baku pupuk organik yang diterimanya. Apalagi para pemasok umumnya tidak melakukan proses pengomposan yang baik, sehingga sulit menyatakan bahwa pupuk organik yang dihasilkan adalah pupuk organik yang benar-benar telah siap pakai oleh tanaman.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa evaluasi kualitas yang dilakukan oleh pihak pabrik lebih mengandalkan kepada faktor kepercayaan kepada pihak pemasok, yaitu pupuk organik yang dipasoknya merupakan bahan baku yang sudah lama dan sudah melapuk. Bagi pihak pabrik, kriteria tersebut sebenarnya sulit untuk mengevaluasinya, terutama untuk pupuk organik/bahan baku yang sudah berbentuk halus dari awal, seperti kotoran hewan, blotong dan lain-lain.
Dari pengamatan di lapangan, terlihat adanya beberapa perusahaan (30 %) yang mengomposkan sebagian bahan baku terlebih dahulu. Proses tersebut dilakukan oleh pabrik POG, apabila mendapatkan bahan baku yang benar-benar masih segar. Proses pengomposannya juga tidak sempurna, tetapi lebih bersifat menumpuk bahan baku begitu saja. Atau lebih cocok kalau proses tersebut disebut sebagai upaya pengeringan atau penampungan bahan baku untuk dijadikan sebagai stock.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar