Dalam sistem pengelolaan sampah kota, ujung dari pembuangan sampah adalah tempat pembuangan akhir sampah atau sering disingkat TPA. Hampir semua TPA yang terdapat di kota-kota di Indonesia menganut sistem open dumping dan menerima segala jenis sampah yang berasal dari rumah tangga, pasar, lokasi komersial, fasilitas umum, dan sebagainya. Umumnya, sampah yang dibuang ke TPA didominasi oleh sampah organik seperti sampah daun, sisa makanan, sisa buah-buahan, dan sisa sayuran. Jenis-jenis sampah organik tersebut merupakan bahan pakan sapi yang potensial sehingga lahirlah kegiatan penggembalaan sapi di TPA.
Awal mulai kegiatan penggembalaan sapi tidak diketahui di TPA mana. Penggembalaan sapi umumnya berjalan sukses karena ongkosnya murah dengan pakan sampah yang gratis. Melihat keberhasilan tersebut, beberapa kota di Jawa melakukan kegiatan penggembalaan sapi dengan tujuan untuk mengurangi sampah di TPA, mengadakan sapi potong, dan meningkatkan derajat hidup warga di sekitar TPA. Umumnya, Pemerintah Kota mendukung penggembalaan sapi di TPA dalam bentuk pengadaan ternak sapi yang pemeliharaannya diserahkan kepada penduduk sekitar TPA dan para pemulung dengan sistem paron atau bagi hasil.
Sebagai contoh, Dinas Lingkungan Hidup dan Pelayanan Kebersihan Kota Tasikmalaya melalui biaya APBD pada tahun 2005 memberikan 6 ekor sapi kepada pemulung ditambah 4 ekor sapi dari swadaya pegawai dengan sistem bagi hasil. Pada tahun yang sama, Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Salatiga berencana memberikan 60 ekor sapi kepada para pemulung di TPA Ngrongo, sedangkan pada Oktober 2006, Pemkot Solo memberikan 250 ekor sapi kepada warga di sekitar TPA Putri Cempo. Sementara itu, pada tahun 2007, tercatat 200 ekor sapi yang digembalakan di TPA Jatibarang adalah miliki Pemkot Semarang.
Saat ini penggembalaan sapi di TPA mencapai ribuan jumlahnya. Di TPA Putri Cempo (Solo) sapi yang digembalakan pada tahun 2007 tercatat sekitar 1025 ekor, di TPA Jatibarang (Semarang) pada tahun 2006 tercatat sekitar 1500 ekor sapi, di TPA Ciangir tahun 2005 sekitar 10 ekor sapi dan di TPA Suwung (Bali) tahun 2002 sekitar 60 sapi. Sapi-sapi tersebut digembalakan di zona aktif TPA bersama-sama dengan aktivitas pemulungan sampah. Sapi memakan sampah organik, sedangkan para pemulung mengumpulkan sampah anorganik. Dengan banyaknya pemulung dan sapi, zona aktif TPA dipadati oleh ratusan sapi dan pemulung bersama buldozer yang lalu-lalang meratakan dan memadatkan sampah.
Menurut UU No. 18 Tahun 2008, pada tahun 2013 TPA sistem open dumping yang saat ini beroperasi sudah tidak diperbolehkan lagi, digantikan dengan sistem sanitary landfill atau lahan urug yang memenuhi kriteria sanitasi lingkungan5). Istilah tempat pembuangan akhir pun telah dirubah menjadi tempat pemrosesan akhir, yaitu pemrosesan sampah dalam bentuk pengembalian sampah ke media lingkungan secara aman. Terkait dengan arah perubahan tersebut kegiatan penggembalaan sapi di TPA tentu akan terpengaruh bahkan mungkin tidak direkomendasikan lagi.
Untuk itu perlu dikaji secara mendalam dampak penggembalaan sapi di TPA di tinjau dari sisi reduksi sampah, nilai ekonomi, operasi TPA, potensi konflik, dan keamanan daging sapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar